mengapa nasi dingin lebih sehat ilmu di balik gelatinisasi pati - News | Good News From Indonesia 2025

Mengapa Nasi Dingin Lebih Sehat? Ilmu di Balik Gelatinisasi Pati

Mengapa Nasi Dingin Lebih Sehat? Ilmu di Balik Gelatinisasi Pati
images info

Mengapa Nasi Dingin Lebih Sehat? Ilmu di Balik Gelatinisasi Pati


Pernahkah Kawan GNFI mendengar anjuran untuk mengonsumsi nasi yang sudah didinginkan semalam di kulkas? Sekilas terdengar janggal, karena lidah kita lebih terbiasa dengan nasi hangat yang pulen dan harum.

Namun, di balik kebiasaan sederhana ini terdapat penjelasan ilmiah mengenai bagaimana proses pemasakan dan pendinginan beras memengaruhi struktur pati, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan tubuh.

Ketika beras dimasak bersama air panas, granula pati di dalamnya mulai menyerap cairan dan mengembang. Fenomena ini disebut gelatinisasi. Pada fase ini, struktur rapat granula menjadi lebih longgar dan mudah dicerna tubuh.

Inilah sebabnya nasi hangat memberikan energi cepat, meskipun juga berisiko meningkatkan gula darah lebih drastis (Syahbanu et al., 2023).

Namun, ketika nasi yang sudah matang didinginkan dalam lemari es, proses lain yang disebut retrogradasi terjadi. Molekul amilosa yang terlepas saat gelatinisasi akan menyusun ulang dirinya menjadi struktur kristalin yang lebih padat.

Bentuk baru ini dikenal sebagai pati resisten, yaitu pati yang tidak mudah dipecah oleh enzim pencernaan di usus halus. Karena itu, nasi dingin cenderung dicerna lebih lambat dan bertindak seperti serat makanan (Yuniarti dan Fitriani, 2023).

Implikasi kesehatan dari perubahan ini cukup menarik. Pati resisten yang terbentuk setelah retrogradasi membantu menjaga kadar gula darah agar lebih stabil. Proses pencernaan yang lebih lambat membuat energi dilepaskan secara bertahap.

Selain itu, pati resisten juga berfungsi sebagai prebiotik alami yang menjadi makanan bagi bakteri baik di usus besar, sehingga turut memperbaiki kesehatan pencernaan (Rozali et al., 2018).

Penelitian di Indonesia mendukung temuan ini. Sonia dan Witjaksono (2014) melaporkan bahwa nasi putih yang disimpan selama 24 jam pada suhu 4 °C menunjukkan peningkatan signifikan kadar pati resisten, dari 0,64 g/100 g pada nasi hangat menjadi 1,65 g/100 g setelah pendinginan.

Lebih jauh lagi, ketika nasi dingin tersebut dipanaskan kembali, kadar pati resisten tidak berkurang drastis, sehingga manfaatnya tetap dapat dirasakan meskipun dikonsumsi dalam keadaan hangat.

Kadar amilosa dalam beras juga menentukan besarnya potensi retrogradasi. Beras dengan kandungan amilosa lebih tinggi memiliki peluang lebih besar menghasilkan pati resisten setelah melalui proses pendinginan.

Hal ini ditunjukkan oleh Rozali et al. (2018), yang menekankan potensi beras Indonesia sebagai sumber pangan fungsional bila diproses dengan cara yang tepat. Dengan kata lain, pilihan varietas beras ikut menentukan manfaat kesehatan yang bisa diperoleh dari konsumsi nasi dingin.

Upaya peningkatan kandungan pati resisten juga dapat dilakukan melalui rekayasa teknologi pangan. Millati et al. (2015), menjelaskan bahwa kombinasi pemanasan dan pendinginan berulang, baik dengan metode fisik maupun enzimatis, dapat meningkatkan pembentukan pati resisten tipe RS3. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa dengan teknik sederhana, pangan pokok seperti beras bisa dimodifikasi menjadi lebih menyehatkan.

Bagi Kawan GNFI yang memiliki risiko diabetes atau sedang menjaga berat badan, nasi dingin bisa menjadi alternatif. Dengan indeks glikemik yang lebih rendah, nasi dingin membantu menjaga kestabilan gula darah tanpa memicu lonjakan tajam.

Meski begitu, bukan berarti nasi panas berbahaya. Nasi hangat tetap penting sebagai sumber energi cepat, terutama bagi mereka yang membutuhkan tenaga instan. Pemahaman tentang perbedaan ini justru membantu kita lebih bijak dalam menentukan cara penyajian sesuai kebutuhan tubuh.

Fenomena “nasi dingin lebih sehat” dengan demikian bukanlah mitos belaka, melainkan hasil perubahan nyata pada molekul pati. Dari proses gelatinisasi hingga retrogradasi, nasi memperlihatkan bagaimana ilmu pengetahuan bekerja di balik setiap suapan.

Jadi, lain kali saat Kawan GNFI menikmati nasi yang sudah disimpan semalam di kulkas, ingatlah bahwa ada proses kimia sederhana yang menjadikannya lebih ramah bagi metabolisme tubuh. Sains kembali membuktikan kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan lewat sepiring nasi di meja makan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.