Permasalahan di Desa dan Lahirnya Ide
Di banyak desa, akses untuk belajar Al-Qur’an secara intensif masih terbatas. Tidak semua anak dan remaja memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan agama yang layak, apalagi dengan fasilitas yang memadai. Kondisi ini membuat sebagian besar masyarakat kesulitan menemukan wadah yang konsisten dalam mendampingi mereka mendalami Al-Qur’an.
Selain persoalan pendidikan, masyarakat desa juga sering menghadapi masalah ekonomi. Lapangan pekerjaan yang terbatas membuat sebagian keluarga hidup dalam kesulitan. Dari sinilah muncul kebutuhan akan program yang bukan hanya mendidik secara spiritual, tetapi juga memberikan manfaat dalam aspek sosial dan ekonomi.
Inspirasi dari Cahaya Langit Lombok
Pada tahun 2017, Hirmayadi Saputra tengah melakukan perjalanan udara melintasi Lombok. Dari jendela pesawat, ia melihat cahaya lampu-lampu desa yang berkelip di bawah langit malam. Pemandangan sederhana itu justru memunculkan sebuah gagasan besar dalam benaknya.
Hirmayadi membayangkan, seandainya setiap cahaya lampu itu adalah sebuah rumah tahfidz, betapa indahnya Lombok dengan cahaya ilmu dan Al-Qur’an. Inspirasi ini menjadi titik awal lahirnya gagasan besar bernama Satu Desa Satu Rumah Tahfidz (SDSRT). Ia pun mulai merancang langkah konkret untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Perjuangan Membangun Program
Mewujudkan ide besar tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Hirmayadi harus memikirkan strategi, mencari dukungan, dan menyusun program yang realistis. Dengan tekad kuat, ia menyiapkan rencana demi rencana, sambil terus menanamkan keyakinan bahwa niat baik pasti mendapat jalan.
Perjalanan panjang itu akhirnya berbuah hasil. Pada tahun 2019, program Satu Desa Satu Rumah Tahfidz resmi diluncurkan. Namun, peluncuran ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih besar. Hirmayadi harus menghadapi tantangan demi tantangan, baik dari sisi pendanaan, sumber daya manusia, maupun logistik.
Program dan Pemberdayaan Masyarakat
Rumah tahfidz yang didirikan tidak sekadar menjadi tempat menghafal Al-Qur’an. Hirmayadi merancangnya sebagai pusat pembelajaran sekaligus pemberdayaan. Di sana, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa bisa belajar Al-Qur’an tanpa batasan usia maupun status sosial.
Selain itu, program SDSRT juga memberikan dampak ekonomi. Ada pelatihan UMKM, budidaya lele, pengembangan jamur tiram, hingga pengolahan kopi khas Lombok. Dengan cara ini, rumah tahfidz tidak hanya melahirkan generasi Qur’ani, tetapi juga membantu masyarakat mandiri secara finansial.
Program santunan bagi yatim piatu dan kaum dhuafa pun menjadi bagian penting dari SDSRT. Dengan keberadaan program ini, rumah tahfidz benar-benar hidup sebagai pusat kebaikan dan solidaritas sosial di desa.
Kendala dan Cara Mengatasinya
Tantangan terbesar dalam menjalankan SDSRT adalah keterbatasan dana. Biaya operasional, gaji pengajar, serta kebutuhan fasilitas sering kali tidak mencukupi. Hal ini membuat Hirmayadi harus memutar otak agar program tetap berjalan.
Selain dana, kendala logistik juga kerap muncul. Distribusi Al-Qur’an dan bantuan sembako ke desa-desa terpencil sering terkendala akses jalan yang sulit. Hambatan ini membuat penyaluran bantuan tidak selalu bisa dilakukan tepat waktu.
Namun, Hirmayadi tidak menyerah. Ia rela menggunakan keuntungan dari penjualan kopi pribadinya untuk menutup kekurangan biaya. Ia juga terus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak agar program ini mendapat dukungan lebih luas.
Pencapaian dan Dampak Nyata
Kerja keras Hirmayadi akhirnya membuahkan hasil yang membanggakan. Hingga kini, sudah berdiri 27 rumah tahfidz di Nusa Tenggara Barat melalui program SDSRT. Banyak di antaranya telah berhasil mencapai target pembelajaran Al-Qur’an dan bahkan mengajarkan bahasa Inggris dan Arab.
Dampak yang dirasakan masyarakat pun sangat besar. Anak-anak desa memiliki akses belajar Al-Qur’an secara teratur, sementara orang tua mereka mendapat peluang untuk ikut dalam program pemberdayaan ekonomi. Kehadiran rumah tahfidz membuat kehidupan masyarakat lebih sejahtera, baik dari sisi spiritual maupun sosial. Lebih jauh, program ini juga menumbuhkan solidaritas antarwarga. Rumah tahfidz menjadi pusat kebersamaan yang mempererat hubungan masyarakat desa.
Apa yang dilakukan Hirmayadi Saputra adalah bukti bahwa satu pemuda bisa membawa perubahan besar. Program SDSRT yang lahir dari sebuah inspirasi sederhana kini tumbuh menjadi gerakan nyata yang mengubah wajah NTB. Atas kontribusinya tersebut, ia dianugerahi penghargaan SATU Indonesia Awards oleh Astra pada tahun 2022.
Ke depan, semoga semakin banyak pemuda di Indonesia yang terinspirasi untuk melakukan hal serupa. Dengan semangat kolaborasi, bukan mustahil Satu Desa Satu Rumah Tahfidz bisa berkembang di banyak daerah lain di Indonesia.
Harapannya, cahaya lampu di langit yang dulu ia lihat tidak hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar terwujud sebagai cahaya ilmu dan Al-Qur’an yang menerangi desa-desa di seluruh Nusantara.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News