Children Underground adalah film dokumenter yang menyorot kehidupan anak-anak jalanan di Rumania awal 2000-an. Mereka tinggal di stasiun bawah tanah, tidur beralaskan kardus, menghirup lem untuk mengusir lapar, dan—yang paling menyedihkan—hidup tanpa akses pendidikan.
Potret getir ini bukan sekadar kisah jauh di Eropa Timur; ia cermin yang juga bisa kita temukan di jalanan kota-kota Indonesia.
Masih banyak anak bernasib serupa: anak jalanan, anak putus sekolah, hingga mereka yang berpotensi putus sekolah karena himpitan ekonomi.
Ada pula buruh dan orang dewasa yang haus belajar, tetapi bingung mencari kursus atau pelatihan. Pertanyaan pun muncul: apakah kita masih punya harapan untuk belajar?
Pendidikan Bukan Hanya Urusan Sekolah
“Belajar bukan hak istimewa, melainkan hak setiap orang.”
Harapan itu ada. Pendidikan tidak melulu milik sekolah formal. Pendidikan luar sekolah—kursus, pelatihan, dan komunitas belajar—menjadi pintu harapan baru.
Teknologi pembelajaran hadir sebagai jembatan. Tidak harus canggih atau mahal; yang penting relevan:
- Kartu bergambar untuk anak yang mulai membaca.
- Radio komunitas yang menyiarkan pelajaran ke desa.
- Kelas daring sederhana yang ramah kuota.
Intinya, teknologi pembelajaran bukan soal alat, melainkan cara membuka akses bagi semua.
Kisah-Kisah Inspiratif dari Sekitar Kita
Dari Kebutuhan Masyarakat Hadirlah Gerakan Pendidikan Nonformal
Kebutuhan untuk belajar tidak berhenti meski akses ke sekolah formal terbatas. Banyak warga yang tetap ingin menambah keterampilan, anak-anak yang perlu dukungan literasi, hingga keluarga yang mencari ruang aman untuk pendidikan anaknya. Dari kebutuhan inilah lahir berbagai inisiatif pendidikan nonformal di berbagai daerah Indonesia.
Malang — Di PKBM ’Aisyiyah Dau, kebutuhan warga untuk punya keterampilan praktis dijawab dengan kursus menjahit. Warga belajar tidak hanya mendapat teori, tetapi juga praktik membuat pola dan pakaian hingga bisa mandiri.
Kota Batu — Di tengah kebutuhan literasi, Komunitas Literasi Kota Batu hadir berjejaring dengan guru dan BSKAP Kemendikbudristek. Kolaborasi ini menjaga gerakan literasi tetap hidup dan berkelanjutan di masyarakat.
Surabaya — Semakin banyak warga belajar yang membutuhkan akses pendidikan setara. PKBM Budi Utama menjawab dengan layanan nonformal inklusif, hingga menerima penghargaan dari Kemendikbudristek pada 2025.
Kediri — Ada kebutuhan akan ruang belajar murah dan akses yang dekat dari rumah. Yayasan Al-Madinah, didirikan oleh Dr. (Cand). Abdurochman ini, menjawab dengan mendirikan PAUD, homeschooling, dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Dari hanya empat murid, kini berkembang menjadi puluhan anak dengan koleksi ribuan buku dan saat ini telah menuai banyak prestasi.
Kisah-kisah ini sederhana, tetapi nyata—bukti kepedulian bisa membuka jalan.
Saatnya Kita Peduli dan Melakukan Aksi
Isu sosial penting, tetapi jangan sampai menutup mata pada persoalan mendasar: akses pendidikan bagi yang terpinggirkan. Pendidikan adalah hak semua orang. Peran masyarakat tidak kalah penting dibanding pemerintah atau sekolah.
Warga dan orang tua bisa memulai dari hal sederhana yang dekat dengan keseharian. Mereka dapat merujuk anak yang tidak sekolah ke PKBM atau kejar paket terdekat, membuka ruang belajar kecil di rumah atau pos ronda, hingga patungan untuk membeli buku, pensil, atau kuota internet mingguan. Lebih dari itu, orang tua juga bisa mendampingi motivasi anak: membuat target kecil dan merayakan setiap kemajuan agar semangat belajar tetap terjaga.
Pemuda dan relawan memiliki energi dan kreativitas yang bisa diandalkan. Mereka dapat menggelar kelas literasi malam di balai warga, menjadi mentor sebaya melalui WhatsApp atau Telegram, atau menghadirkan pojok baca keliling di taman dan terminal. Bahkan, media sederhana seperti radio komunitas atau siaran langsung singkat di Instagram dapat berubah menjadi ruang belajar alternatif yang murah sekaligus menarik.
PKBM, sekolah, dan rumah ibadah juga menjadi ujung tombak. Mereka bisa menyelenggarakan kelas modular, mulai dari keaksaraan, keterampilan dasar, hingga literasi digital. Dengan jadwal fleksibel bagi buruh harian, layanan ini semakin inklusif. Sertifikat sederhana dan jalur ke Paket A/B/C memberi kepastian belajar, sementara kegiatan open day bulanan menghadirkan ruang konseling dan asesmen yang ramah bagi warga belajar.
Pelaku usaha dan UMKM pun dapat ikut terlibat. Melalui magang mikro berbayar selama 1–3 bulan, anak muda dan buruh harian bisa belajar sambil tetap mendapat penghasilan. Beasiswa alat kerja kecil—seperti gunting kain, kompor, atau paket data—juga bisa membuka peluang usaha baru. Ditambah kelas tamu singkat seputar foto produk atau jualan daring, dukungan UMKM ini semakin lengkap dengan sponsor ruang belajar dan konsumsi peserta.
Kampus dan mahasiswa PLS punya kontribusi strategis. Lewat KKN tematik bertajuk “Kembali Sekolah/Kursus”, mahasiswa dapat merancang bahan ajar low-tech untuk PKBM, sekaligus melakukan riset aksi guna mengukur dampak literasi dan retensi belajar. Dengan begitu, kampus tidak hanya hadir sebagai menara gading, tetapi benar-benar terjun membawa solusi di lapangan.
Media lokal dan kreator konten berperan penting dalam menyebarkan cerita. Mereka bisa menyorot kisah sukses anak yang kembali sekolah, membuat infografik singkat tentang cara daftar PKBM dan alamat layanan, hingga menyusun peta layanan pendidikan nonformal di daerah. Dengan cara ini, informasi yang tadinya tercecer bisa lebih mudah diakses masyarakat.
Pemerintah desa dan kelurahan tentu tidak bisa ditinggalkan. Mereka dapat menyediakan nomor WhatsApp rujukan dengan respons cepat, menjalin MoU lintas sektor antara Disdik, Dinsos, dan Disnaker, serta menyalurkan dana kecil cepat untuk transport atau kuota peserta. Transparansi semakin kuat dengan dashboard publik bulanan yang memuat jumlah rujukan dan peserta aktif, sehingga masyarakat bisa ikut mengawal.
Penutup
Film Children Underground memberi cermin pahit tentang anak yang kehilangan masa depan karena pendidikan absen. Namun, kisah PKBM, komunitas literasi, dan kursus singkat membuktikan: harapan selalu ada—selama kita peduli.
Mari wujudkan masyarakat yang peduli pendidikan, karena setiap orang berhak belajar—di mana saja, kapan saja, dengan cara apa saja.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News