justitia avila veda dari kepedulian menjadi keadilan - News | Good News From Indonesia 2025

Justitia Avila Veda, Dari Kepedulian Menjadi Keadilan

Justitia Avila Veda, Dari Kepedulian Menjadi Keadilan
images info

Justitia Avila Veda, Dari Kepedulian Menjadi Keadilan


Kekerasan seksual dan KBGO menjadi kasus yang menjamur di Indonesia. Bahkan, menurut hasil Rapat Tingkat Menteri (RTM) Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tercatat sebanyak 11.800 kasus per Juni 2025. Maraknya kasus tersebut membuat Justitia Avila Veda atau akrab dipanggil Veda adalah seorang advokat yang menggagas program Pendampingan Korban Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi melalui organisasi Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG). Program tersebut menerima SATU Indonesia Awards (ASTRA) di tahun 2022 di kategori kesehatan. Hingga saat ini, program tersebut masih terus berjalan untuk memberikan keadilan pada korban kekerasan seksual.

Program Pendampingan Korban Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi dicetuskan ketika ada salah satu civitas akademik di kampus Veda yang mengalami kekerasan seksual dan belum ada pelayanan yang tersedia. Bersamaan dengan hal tersebut, angka kekerasan seksual di kampus cukup tinggi namun tidak ada mekanisme penyelesaiannya. Lantas, Veda membuka layanan pendampingan yang bersifat pro bono yang dibuka melalui media sosial Twitter dan dalam jangka waktu 48 jam, Veda menerima sekitar 200 pesan dari para korban kekerasan seksual sehingga dapat dikatakan respon netizen antusias bahkan ada seorang jaksa dan pengacara yang menghubungi Veda ingin membantu menangani kasus kekerasan seksual tersebut. Aduan yang masuk pun semakin banyak dan menjadikan KAKG sebagai organisasi yang memerlukan struktur dengan mekanisme yang lebih akuntabel serta berisikan orang-orang kompeten yang dapat dipercaya.

Pada waktu yang sama, muncul tren kekerasan berbasis gender online (KBGO) sehingga program KAKG tersebut tumbuh periode pascacovid ketika komunikasi masyarakat secara masif berganti secara daring. Banyaknya masyarakat yang bermain dating application dan berkenalan lewat Telegram atau game online menjadi asal muasal dari banyaknya angka penyebaran konten intim non-konsensual hingga penyerupaan seseorang yang tanpa izin menyebarkan konten-konten milik orang lain.

baca juga

Akan tetapi, upaya dalam menegakkan keadilan atas korban kekerasan seksual tidak semudah membalikkan telapak tangan. Veda mengalami beberapa kendala yang cukup kompleks selama program berjalan. Pertama, kondisi geografis Indonesia sangatlah luas sehingga terkadang aksesibilitas pendampingan sulit. Contohnya, ketika tidak ada advokat yang dapat mendampingi korban yang berasal dari Indonesia bagian timur. Padahal, kasus kekerasan seksual di bagian Indonesia timur banyak yang tingkat konvensional seperti pernikahan anak hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) namun sumber dayanya masih sedikit sehingga akses pemberian keadilan yang merata belum tercapai. Ditambah tidak banyak jumlah pengacara yang mau memberikan pendampingan secara pro bono sehingga sumber daya yang ada tidak dapat mengimbangi permintaan dari bantuan hukum yang dibutuhkan.

Kedua, timpangnya pemahaman regulasi oleh aparat hukum. Selama dua hingga tiga tahun terakhir Veda menangani kasus kekerasan seksual, aparat hukum masih awam dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sedangkan angka KBGO semakin meningkat. Aparat hukum masih nyaman dengan UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Permasalahan muncul karena UU ITE hanya memandang penyebaran konten intim sebagai tindak pidana tanpa membedakan posisi korban dan pelaku. Misalnya, ketika ada korban mengirimkan konten intimnya ke pelaku kemudian pelaku menyebarkan konten tersebut di media sosial tanpa persetujuan korban maka berdasarkan UU ITE justru korban dianggap sebagai penyebar pertama sehingga korban yang bisa dijerat hukum. Sementara itu, UU TPKS dapat membedakan konten intim yang dibagikan secara konsensual untuk konsumsi pribadi dengan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Tindak pidana akan terjadi ketika konten yang dikonsumsi pribadi disebarluaskan tanpa konsen dari korban. Dengan kata lain, UU TPKS melihat nuansa yang membedakan posisi korban dan pelaku.

Ketiga, kurangnya kapasitas investigasi untuk aparat hukum. Aparat hukum memang memang memahami kerangka hukum namun kapasitas investigasi digital masih sangat terbatas. Banyak laporan korban terkain penyebaran konten intim secara online tetapi tidak dapat ditangani di tingkat kepolisian sektor karena fasilitas yang tidak memadai. Kurangnya kapasitas investigasi untuk aparat hukum itulah yang memunculkan kesenjagan sumber daya dalam penanganan kasus KBGO.

Keempat, rumitnya hukum praktik aborsi. Aborsi di Indonesia bersifat ilegal kecuali dalam dua hal, yaitu (1) isu kesehatan ibu atau janin sehingga harus digugurkan namun juga membutuhkan persetujuan dokter dan (2) kehamilan karena kasus perkosaan yang dapat dibuktikan. Isunya ada pada alasan yang kedua. Aparat hukum melegalkan aborsi karena perkosaan namun pembuktiannya harus dilakukan melalui putusan pengadilan yang periode waktunya sangat panjang. Pada akhirnya, banyak korban yang mengakses aborsi ilegal dan takut jika dipenjara apabila lapor ke aparat hukum karena tindakan yang mereka lakukan tidak sah secara hukum. Ada pula korban dari kasus perkosaan yang masih di bawah umur dan belum stabil secara finansial namun korban membutuhkan tes DNA untuk pembuktian, pendampingan psikologi atau psikiater, hingga tempat yang aman agar korban merasa nyaman. Secara keseluruhan, hukum praktik aborsi yang legal di Indonesia masih sangat kompleks dan mahal.

Kelima, retaliasi dari pelaku. Retaliasi adalah pelaporan balik atau tindakan pembalasan oleh pelaku. Umumnya, atas nama korban atau pengacara dengan dalih pencemaran nama baik menurut UU ITE yang berlaku.

baca juga

Seluruh kendala tersebut tidak menjadi tantangan sepenuhnya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual dan KBGO. Veda mengatakan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual dan KBGO adalah bergantung dari keinginan korban. Korban akan melakukan asesmen dengan pendamping hukum dan diberikan beberapa opsi untuk penyelesaian masalah. Untuk kasus KBGO, modus yang paling umum ada dua, yaitu (1) jika tidak mau berhubungan intim maka konten korban akan disebar dan (2) jika tidak mau memberikan uang maka konten korban akan disebar. Umumnya, korban KBGO ingin segera memutus hubungan apapun dengan pelaku maka upaya KAKG adalah memfasilitasi pertemuan antara korban dan pelaku agar dapat membuat pernyataan untuk berhenti mengontak dan jika melanggar akan ditindaklanjutkan. Hal tersebut adalah langkah awal sebelum ultimatum untuk dilaporkan ke polisi apabila pelaku sudah tidak bisa diajak kersa sama.

KAKG telah menjadi tempat pengaduan kekerasan seksual pro bono yang mendorong pembaharuan regulasi perlindungan korban kekerasan seksual. Veda selaku penggerak organisasi tersebut berharap UU TPKS segera diselesaikan peraturan-peraturan pelaksanaannya sehingga tidak hanya berupa harapan palsu bagi korban namun dapat diterapkan secara optimal pada kasus kekerasan seksual. Selain itu, Veda juga berharap korban kekerasan seksual dapat menyelesaikan masalahnya dengan diperhatikan kebutuhan, sensitivitas, diberikan keamanan dan tempat nyaman oleh aparat hukum.

Apabila KAKG tidak ada lagi maka akses untuk keadilan telah berjalan dan diberikan secara optimal oleh negara bagi para korban kekerasan seksual.

#kabarbaiksatuindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SK
FA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.