Seni acap kali menjadi sebuah sarana menyampaikan perasaan, gagasan dan juga keresahan sosial, yang disalurkan dalam berbagai media. Namun, seorang pemuda di Kalimantan Timur, Rahmad Azazi Rhomantoro, menjadikan seni sebagai wadah untuk menyalurkan pendidikan.
Menghampiri setiap sudut kota, Azazi menyasar penduduk marjinal, terutama anak-anak, yang memang memiliki keterbatasan dalam sejumlah hal, termasuk pendidikan.
Melihat kondisi Kalimantan Timur, tepatnya di Samarinda terdapat titik-titik zona merah yang dikategorikan sebagai wilayah marjinal. Banyak anak-anak yang terpinggirkan, yang tidak mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan.
Terlebih, anak-anak yang berada di lingkungan tidak memadai, membuat mereka tidak mampu berpikir secara kognitif, sehingga sulit mendongkrak keinginan menempuh pendidikan.
Anak-anak marjinal, menurut Azazi, meskipun tidak dapat merasakan bangku sekolah, bukan berarti mereka tidak punya masa depan. Hanya saja, mereka tidak punya cukup keterampilan yang baik di bidang tertentu.
“Di Samarinda tuh ada wilayah-wilayah merah gitu ya daerah Tanjung Batu, wilayah Gerilya Solong, Trisari serta Gunung Lingai. Aku mencoba untuk kayaknya kalau orang-orang marginal ini mereka nggak punya apa ya, bukan nggak punya masa depan tapi lebih kepada kompetensi kehidupannya” kata Azazi saat diwawancarai online pada (15/9).
Oleh karenanya, pria bergelar doktor manajemen pendidikan itu membentuk sebuah komunitas seni, Tirtonegoro Foundation, untuk membina dan membekali anak-anak tersebut agar mendapat keahlian, yang setidaknya berguna bagi kehidupan mereka.
Namun niatnya yang mulia tidak serta-merta langsung disambut baik oleh penduduk setempat. Dirinya sempat mendapat penolakan ketika hendak menjalankan program mengajarnya.
Awalnya, warga setempat menganggap seni biasanya menjadi sebuah tontonan dan hiburan semata, tidak dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan.
Namun, berkat tekad dan kegigihannya membawa seni sebagai pengantar pendidikan, perlahan-lahan dapat diterima dan menunjukan hasil yang nyata.
Metode Mengajar untuk Anak Marjinal

Kegiatan Azazi tengah mengajar anak-anak. (IG Tirtonegoro Fondation)
Demi menjangkau penduduk yang terpinggirkan, dalam program mengajarnya, Tirtonegoro Foundation bergerak secara nomaden.
Indikatornya adalah jika suatu tempat sudah mendapatkan cukup bekal pendidikan yang baik, maka komunitasnya akan berpindah ke tempat lain. Meski begitu, ia menargetkan untuk menjangkau 50 anak dalam setahun.
Untuk metode mengajar, ia lebih berfokus pada peningkatan softskills, seperti public speaking. Dalam mempelajari hal tersebut, terdapat sejumlah aspek yang telah dirancang.
Mulai dari artikulasi, gestur, mimik wajah, hingga titik gerak menjadi materi pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak kelas bawah. Waktu yang dihabiskan untuk mengajar anak-anak tersebut pun tidaklah sebentar. Bisa memakan waktu 2 sampai 3 bulan.
“Kategorisasi anak-anak yang pertama itu adalah kemampuan public speaking. Untuk menyelingi, karena biasanya anak-anak kan fokusnya berubah. Kita bikin baca puisi, kita bedah puisi. Kemudian kita bikin film pendek, gitu. Nah yang kita libatkan anak-anak itu, Jadi metodenya itu” ucapnya.
Anak Marjinal Cetak Prestasi hingga Dapat Kesempatan Baru

Sejumlah pertunjukan seni yang dibawakan anak-anak marjinal, baik ditempat umum maupun di ajang kompetisi. (Ig Tirtonegoro Fondation)
Lebih dari itu, dirinya juga menyalurkan anak-anak yang sudah ‘matang’ mengikuti kompetisi atau lomba di bidang seni. Bahkan, mereka berhasil meraih prestasi.
Tak main-main, Azazi menyebut prestasi yang sudah diperoleh saat ini berkisar ratusan, dari berbagai kategori seni.
“Banyak banget ya, kemarin itu kalau nggak salah, kurang lebih ada seratusan lebih dari lomba da'i gitu ya, baca puisi gitu ya. Tapi yang rata-rata itu seni aja,” ucapnya.
Banyaknya pencapaian yang diperoleh tentu menjadi tanda keberhasilan Tirtonegoro. Sebab, bukan cuma mendorong pendidikan di bidang seni, tapi juga berhasil menelurkan anak-anak berprestasi dari kalangan bawah.
Berkat hal tersebut, eksistensi Tirtonegoro kian banyak dilihat orang. Bahkan sampai dikunjungi beberapa turis asing. Hal ini turut membuka peluang bagi anak-anak tersebut sampai ditawarkan bermain film.
Pendidikan yang diajarkan lewat seni, bukan cuma mengangkat potensi dan jati diri mereka, melainkan juga membuka cahaya harapan akan masa depan yang lebih baik.
Walaupun sukses mendapat banyak dukungan dan perhargaan di dalam negeri, Azazi berambisi ingin membawa Tirtonegoro sampai ke panggung internasional.
Kendati awal perjalanan mulai dari tingkat kota, hingga berhasil sampai ke skala nasional, dirinya tidak pupus harapan untuk bisa tampil di kancah global.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News