Jarum jam sudah melewati tengah malam, tugas belum juga selesai, tetapi secangkir kopi kembali hadir di meja. Bagi banyak anak muda, mereka sangat bersahabat dengan situasi seperti ini. Kopi seolah menjadi “ramuan” ketika harus berhadapan dengan setumpuk tugas dan pikiran yang bercampur dengan keresahan akan masa depan.
Pada akhirnya, secangkir kopi seolah mewakili kekuatan kecil yang meneguhkan anak muda untuk tetap bertahan menghadapi beban akademik, tekanan hidup, dan keresahan batin yang seringkali datang bersamaan.
Kopi: Teman yang Setia, tapi Menyimpan Risiko
Kopi kerap kali dihubungkan dengan produktivitas dan semangat. Minuman ini hadir dalam berbagai situasi penting: menemani begadang saat dikejar deadline, menjadi alasan sederhana untuk bercengkerama dengan teman, hingga menjelma bagian dari gaya hidup modern yang melekat pada keseharian banyak orang.
Tak jarang, segelas kopi dianggap sebagai cara cepat untuk menahan kantuk dan menjaga fokus ketika tenaga mulai terkuras. Aroma khasnya yang menenangkan serta sensasi hangatnya sering kali memberikan ilusi bahwa kelelahan bisa ditepis dengan mudah.
Konsumsi kafein secara berlebih (>400mg/hari) dapat menimbulkan beberapa efek negatif, diantaranya adalah timbulnya anxiety atau rasa cemas, rasa lelah saat terbangun dari tidur di pagi hari, gangguan tidur, dan rendahnya kualitas tidur.
Akan tetapi, apabila kafein dikonsumsi dalam batas normal (200-400 mg/hari) kafein dapat memberikan efek positif, seperti meningkatkan mood dan kemampuan kognisi (Triantara dan Wijayanti 2017).
Tugas: Deadline yang Tak Pernah Usai
Keberadaan tugas dan deadline dalam dunia akademik maupun professional merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Keduanya selalu hadir membentuk sebuah lingkaran yang seakan tak pernah berhenti.
Tekanan deadline yang mendesak dari satu sisi kerap membuat seseorang merasa terburu-buru, sementara di sisi lain, rasa malas, kebingungan, atau bahkan kehilangan motivasi justru menjadi penghalang untuk bergerak maju.
Kondisi ini sering kali menciptakan benturan batin yang melelahkan, di mana tubuh dipaksa terus aktif meskipun pikiran ingin beristirahat. Kopi biasanya hadir pada saat seperti ini sebagai penyelamat sederhana.
Secangkir kopi bisa menghadirkan sugesti bahwa seseorang masih mampu bertahan, melanjutkan perjuangan, dan menyelesaikan kewajiban meski keadaan terasa berat.
Quarter Life Crisis: Pertanyaan yang Mengganggu Usia 20-an
Banyak anak muda mengalami quarter life crisis, fase ketika muncul pertanyaan besar seperti “Apa pilihan hidupku udah benar?”, “Kenapa teman seumuran keliatan lebih berhasil?” atau “Sebenarnya hidup ini mau ke mana sih?”
Pertanyaan-pertanyaan itu sering datang tiba-tiba, misalnya saat sendirian, lelah, atau melihat pencapaian orang lain di media sosial. Menurut penelitian Ratih dan Winta (2024) selama fase ini, individu sering mengalami quarter life crisis, suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan perasaan bingung, cemas, dan kehilangan arah dalam menghadapi masa depan, terutama mengenai karier, hubungan sosial, dan identitas diri.
Padahal, fase ini hampir dialami semua orang dengan bentuk dan intensitas berbeda. Generasi Z menghadapi beberapa tantangan, termasuk tekanan dari lingkungan dan keluarga untuk memenuhi ekspektasi tinggi, risiko mengalami quarter life crisis, dan kesulitan mengatur multitasking.
Meski terasa menekan, quarter life crisis juga bisa jadi titik balik untuk mengenal diri, menemukan arah baru, dan menyadari bahwa hidup tiap orang punya jalannya masing-masing.
Perpaduan Tiga Elemen
Kopi, tugas, dan quarter life crisis bisa dibilang jadi “trio” yang cukup akrab dalam keseharian banyak anak muda. Tugas yang datang silih berganti sering jadi sumber tekanan membuat kepala penuh dan waktu terasa tidak pernah cukup.
Di sisi lain, kopi muncul sebagai pelarian sederhana, jadi teman begadang, sekaligus penopang. Lalu ada quarter life crisis yang diam-diam menjadi latar belakang besar, membuat semua terasa lebih rumit. Gabungan ketiganya sering menciptakan siklus yang melelahkan: kerja dikejar deadline, kopi supaya kuat, lalu dihantui pikiran tentang “hidup ini mau ke mana?”
Meski begitu, pengalaman ini juga secara nggak langsung membentuk perjalanan hidup yang berharga. Dari situ anak muda belajar bertahan, memahami diri, dan pelan-pelan menyadari bahwa perjalanan hidup memang penuh tekanan, tapi juga banyak pelajaran yang bisa diambil.
Jadi, Harus Bagaimana?
Menghadapi kondisi ini bukan berarti kita harus lari dari semuanya. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga keseimbangan. Jadi, kita harus bagaimana?
Pertama, kenali batas kemampuan diri. Kopi memang bisa jadi penolong, tapi jangan sampai hanya bergantung padanya. Pola tidur yang teratur, waktu istirahat yang cukup, serta menjaga asupan makanan sama pentingnya dengan menyelesaikan tugas. Konsumsi kopi dengan porsi yang seimbang dan diiringi pola makan yang sehat.
Kedua, coba pecah pekerjaan menjadi langkah-langkah kecil yang bisa dicapai. Daripada melihat daftar panjang yang bikin pusing, fokuslah pada hal terdekat yang bisa segera dituntaskan. Cara sederhana ini bisa membuat beban terasa lebih ringan sekaligus mengurangi stres.
Ketiga, pahami bahwa quarter life crisis adalah fase normal yang dialami hampir semua orang, meski wujudnya berbeda-beda. Anggap saja ini masa transisi—waktu untuk mengenal diri lebih dalam, menilai ulang tujuan, dan menemukan arah baru yang lebih pas.
Terakhir, jangan lupa memberi ruang untuk diri sendiri. Wajar merasa lelah, bingung, atau bahkan ingin menyerah sejenak. Namun, yang paling penting adalah bisa bangkit lagi dan melangkah perlahan. Hidup memang tidak selalu manis, sama seperti kopi yang pahit, tapi justru dari situlah kita belajar menikmati setiap prosesnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News