HUT RI ke-80 telah berlalu. Masih membekas di kepala kita ketika melihat perlawanan di tengah perayaan. Bendera One Piece melenggang naik setinggi umbul-umbul. Merah putih tentu masih lebih tinggi dipasang. HUT RI kali ini jadi momen merdekanya bermakna untuk mengevaluasi usia Indonesia yang sedang beranjak senja.
Di sisi seberang, justru ada pihak lain yang memandang negatif. Wakil DPR RI, Dasco, memandang pemasangan bendera tengkorak bajak laut itu sebagai simbol pecah belah bangsa (tempo.co).
Keterangan ini dapat menjadi indikasi bahwa wakil rakyat, mungkin tidak sedikit, kurang menafsirkan kedalaman “makna”. Kita pun bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah bendera yang sejatinya berisi evaluasi dan keluhan justru dipandang sebagai sebuah serangan?
Jawabannya karena pernyataan dan bendera tersebut memiliki makna yang berlapis. Pertama, makna dari sebuah pernyataan bendera dan kedua adalah makna dari “hasil pemaknaan awal”.
Sederhananya, sebuah makna tidak boleh langsung disimpulkan jika baru melewati satu tahap pemaknaan. Makna harus diolah kembali menjadi makna yang lain. Dalam hal ini, makna di tahapan pertama harus “ditunda” untuk disimpulkan.
Viral Bendera One Piece Dikibarkan Jelang 17 Agustus, Apa Maknanya?
Proses ini dijelaskan oleh Roland Barthes dalam buku Elements of Semiology. Dua tahap pemaknaan disebutnya sebagai proses semiologis. Dalam proses semiologi, sebuah objek makna disebut sebagai penanda. Bendera one piece merupakan sebuah “penanda”. Di bawah penanda, makna terhubung lapisan demi lapisan sehingga membentuk struktur makna.
Dalam bukunya yang lain berjudul Mythologies, Barthes menjelaskan pola pembentukkan struktur makna. Mulanya, sebuah penanda dimaknai sesuai dengan wujud aslinya. Hasil pemaknaan itu dinamakan petanda.
Kita ambil satu contoh pengibaran bendera One Piece oleh masyarakat Indonesia. Bergambar tengkorak dengan tulang bersilang. Dalam animasi One Piece, bendera tersebut merujuk pada Jolly Roger, pemberontak yang menuntut kebebasan dari negara. Maka petandanya adalah “masyarakat yang memberontak dan menuntut kebebasan”.
Makna awal ini tentu membuat kita skeptis. Sebab masyarakat tidak mungkin tiba-tiba memberontak. Maka makna awal dikembangkan. Barthes menyebut ini sebagai penafsiran ulang. Makna “masyarakat yang memberontak dan menuntut kebebasan” yang tadinya pertanda, kini menjadi penanda.
Tahap kedua pemaknaan ini dimulai dengan pertanyaan: apa dorongan yang menyebabkan masyarakat memberontak? Dan apakah masyarakat benar-benar memberontak?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu lihat beberapa isu. Misal isu kabur aja dulu dan Indonesia Gelap. Pemerintah menanggapinya dengan menantang: apakah mereka bisa hidup sejahtera di luar Indonesia. Atau teror bangkai kepala babi dan tikus yang diterima Tempo, pemerintah menanggapinya dengan lawakan .
Mengenai pertanyaan kedua, mudah sekali dijawab bahwa masyarakat tentu tidak benar-benar melakukan pemberontakan. Masyarakat hanya memasang bendera One Piece di depan rumah, tanpa bertindak anarkis.
Oleh karenanya, dapat kita simpulkan pemasangan bendera One Piece memiliki makna “masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap jalannya pemerintahan”.
Pelajaran dari Demonstrasi Agustus 2025: Keterlibatan Publik Tidak Bisa Dinafikan oleh Pemerintah
Tentu tanggapan pemasangan bendera One Piece sebagai simbol pecah belah adalah keliru. Struktur makna ini terbuktimenghasilkan ekspresi kecewa mendalam terhadap pemerintah.
Ini menjadi gambaran bagaimana makna memiliki hubungan sebab-akibat dan tidak bermakna negatif. Di dalamnya terdapat makna yang tersembunyi.
Mirisnya, pemerintah umumnya menyikapi isu ini menjadi satu lapis makna. Tanggapan bahwa bendera itu sebagai simbol pecah belah justru masih berupa pemaknaan awal. Simplifikasi ini yang membuat makna tidak tersampaikan secara utuh. Makna hanya dipahami sebagian saja.
Driyakara (1980) dalam Driyakara tentang Kebudayaan menulis bahwa proses bermakna adalah sebuah pengalaman estetis. Menurutnya, kita tidak sedang “berhadapan” dengan makna, tapi sedang “mengalami” makna.
Begitupun kemerdekaan. Kemerdekaan seharusnya jadi puncak pengalaman estetis. Kemerdekaan bukan sebagai sebuah perayaan semata, tapi juga momen refleksi, bermakna.
Kemerdekaan seharusnya menjadi momen evaluasi kinerja pemerintah melalui ekspresi. Paksaan untuk menurunkan bendera One Piece menunjukkan pemerintah belum “memaknai” makna.
Kurangnya penafsiran sekaligus memerdekakan makna tentu membuat kita heran, apakah Indonesia sebagai negara sedang “mengalami” kemerdekaan, atau masih “berhadap-hadapan” dengan kemerdekaan?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News