Di balik hamparan hutan jati di Kabupaten Bojonegoro yang memiliki nilai ekonomi tinggi, ditemukan bunga cantik yang sangat langka: anggrek Dendrobiumcapra.
Keberadaannya yang nyaris terlupakan justru mengungkapkan sisi lain dari ekosistem hutan jati, bukan sekadar penghasil kayu, tetapi sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati yang unik dan langka.
Penemuan dan penelitian terhadap anggrek ini dipelopori oleh Dr. Laily Agustina, seorang dosen Ilmu Lingkungan Universitas Bojonegoro, yang berawal dari upaya mengisi “kekosongan jawaban” dalam dokumen Dossier Geopark Bojonegoro untuk diajukan ke UNESCO.
Mengenal Anggrek Dendrobiumcapra
Dendrobiumcapra adalah anggrek epifit yang hidup menempel pada batang pohon jati tua berusia lebih dari 50 tahun.
Secara fisik, anggrek ini memancarkan pesona yang sederhana namun memikat. Batangnya (pseudobulb) tumbuh tegap dan dapat mencapai panjang hingga 40 cm.
Daunnya berwarna hijau kusam, berbentuk bundar telur memanjang, memberikan kesan kokoh. Bunganya, yang menjadi daya tarik utamanya, berukuran relatif kecil dengan diameter hanya 2,5 hingga 3 cm.
Warna bunganya didominasi oleh hijau kekuningan yang lembut, dengan aksen garis-garis ungu yang mencolok pada bagian bibir bunganya (labellum).
Kombinasi warna ini menciptakan kontras yang elegan dan memancarkan keindahan yang khas.
Penemuan Anggrek dari Bojonegoro
Penemuannya kembali adalah sebuah cerita ketekunan. Awalnya, Dr. Laily merujuk pada penelitian Yulia dkk. (2008) yang menyebutkan Dendrobium capra pernah ditemukan di dua wilayah: Madiun dan Bojonegoro.
Namun, temuan mutakhir dari Trimanto dkk. (2022) membawa kabar yang mencengangkan: populasi di Madiun telah punah. Kenyataan ini menjadikan hutan jati Bojonegoro sebagai satu-satunya habitat alami terakhir yang diketahui untuk spesies ini di dunia.
Populasinya sangat terbatas, hanya tersisa 215 individu yang tersebar di tiga Resort Pemangkuan Hutan (RPH): Sugihan (17 individu), Sukun (43 individu), dan Dodol (155 individu).
“Bojonegoro sekarang jadi satu-satunya tempat tumbuhnya Dendrobium capra. Ada rasa bangga, tapi sekaligus beban, karena jumlahnya semakin menurun,” ujar Dr. Laily.
Baca juga Anggrek Larat Hijau, Bunga dari Gunungkidul yang Menempel di Pohon Mahoni
Termasuk Anggrek Langka
Status kelangkaannya semakin kritis akibat siklus hidupnya yang sangat spesifik. Anggrek ini hanya mekar sekali setahun, sekitar bulan Februari, sehingga laju regenerasinya sangat lambat.
Ancaman terbesarnya adalah siklus tebang pohon jati. Pohon jati berusia tua yang menjadi rumahnya seringkali ditebang karena telah memasuki masa panen, secara serta-merta menghancurkan habitat dan populasi anggrek ini.
Kondisi ini telah menempatkannya dalam status Endangered (EN) oleh IUCN, dan sedang diusulkan untuk dinaikkan menjadi Critically Endangered.
Dr. Laily melihat Dendrobium capra lebih dari sekadar objek penelitian. Ia adalah simbol ketangguhan dan identitas lokal. “Flora ini bisa menjadi simbol kebanggaan Bojonegoro. Tetapi kebanggaan itu harus dibarengi kesadaran untuk melindunginya,” tegasnya.
Ia mengibaratkannya seperti perempuan Bojonegoro, yakni cantik, sederhana, tidak mencolok, namun tangguh bertahan di daerah kering.
Upaya konservasi mendesak untuk segera dilakukan. Langkah-langkahnya termasuk menetapkan kawasan habitatnya sebagai zona lindung khusus, menjadikannya flora identitas Bojonegoro, dan mengembangkan program reintroduksi untuk memperbanyak populasi.
Kekhawatiran akan perburuan liar juga ada, namun Dr. Laily berharap publikasi justru meningkatkan kesadaran kolektif. “Harapan saya tidak begitu. Saya ingin publikasi ini menyadarkan lebih banyak pihak, agar upaya konservasi segera dilakukan sebelum terlambat,” katanya.
Ia mengajak semua pihak untuk mengaguminya tanpa harus memilikinya, perhaps dengan menjadikannya inspirasi motif batik atau lukisan.
Pada akhirnya, melestarikan Dendrobium capra berarti melindungi sebuah warisan biologis yang tidak ternilai harganya.
“Kalau kita bisa menjaga flora ini, Bojonegoro tidak hanya dikenal sebagai daerah migas atau kayu jati. Kita juga punya identitas lain yaitu rumah bagi flora langka dunia. Itu kebanggaan yang tidak ternilai,” pungkas Dr. Laily.
Keberadaan anggrek ini adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi harus berjalan beriringan dengan pelestarian ekologi untuk warisan generasi mendatang.
Baca juga Anggrek Biru Raja Ampat, Harta Karun Biodiversitas dari Indonesia Timur
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News