Kawan GNFI, sering kali kita mendengar pepatah “pengalaman adalah guru terbaik.” Ungkapan sederhana ini sesungguhnya memiliki makna yang dalam, terlebih ketika dikaitkan dengan kehidupan di perguruan tinggi.
Kuliah bukan hanya tentang ruang kelas, tugas, atau skripsi, melainkan juga tentang perjalanan hidup yang membentuk cara berpikir, karakter, serta nilai-nilai yang kita pegang di masa depan.
Aku ingin berbagi kisah tentang 5 orang sahabat yang dipertemukan oleh sebuah momentum, lalu bersama-sama belajar arti sesungguhnya dari pepatah tersebut.
Semua berawal pada Desember 2022. Saat itu, aku bersama kawan-kawan dari pondok lama sedang melakukan sesi foto di sebuah studio. Di momen itu, Ridwan—seorang kawan yang cukup dekat denganku—mengajakku untuk ikut serta dalam persiapan pentas seni dalam rangka acara Festival Semarak Tarbiyah (FESTA). Karena tidak memiliki agenda lain, aku pun menyanggupinya.
Dari kegiatan tersebut, aku makin akrab dengan Farhan Heru, yang sebelumnya sudah pernah kutemui di kos Afif, sahabatku sejak masa kuliah S1. Dari sekian banyak mahasiswa baru yang ikut dalam persiapan, ada dua orang lain yang kemudian menjadi bagian penting dalam lingkaran persahabatan kami, yakni Bella dan Tia.
Heri Pemad: Jadi Seniman Tak Harus Masuk Perguruan Tinggi
Sejak saat itu, kami berlima semakin sering berinteraksi, berbagi cerita, bahkan melewati dinamika khas anak muda—dari canda, tawa, hingga kisah percintaan di antara sahabat yang sempat membuat hubungan ini diuji.
Namun, justru dari dinamika itulah persahabatan kami kian kuat. Jika konflik itu tidak ada, mungkin kami tidak akan seakrab sekarang.
Persahabatan itu kemudian menemukan wadahnya ketika kami aktif di sebuah organisasi kampus bernama Lembaga Pengembangan Riset dan Pengabdian Masyarakat (LPRPM).
Aku dipercaya menjadi ketua umum, Ridwan menjabat Ketua Bidang Kajian dan Pendidikan, Heru mengemban tugas sebagai Ketua Bidang Sosial Masyarakat, Bella berperan sebagai sekretaris bidang Ekonomi Kreatif, sementara Tia menjadi Bendahara Umum II.
Dari organisasi inilah kami belajar bagaimana teori yang diperoleh di kelas diuji melalui praktik nyata. Pada tahun 2023, LPRPM mengadakan program pengabdian masyarakat di Desa Alam Panjang, tepatnya Dusun Tiga Langgam.
Itu adalah pengalaman pertama kami. Pengabdian serupa kembali dilakukan pada tahun 2024, lalu berlanjut pada tahun 2025 oleh adik-adik generasi berikutnya setelah kami demisioner.
Bagi kami, pengabdian masyarakat adalah jantung dari perjalanan seorang akademisi. Perguruan tinggi memang mengusung Tridharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian.
Guru Besar UMY: Eks-napiter Bisa Dibina Lewat Perguruan Tinggi, Alasannya?
Namun, jika hanya berhenti pada pengajaran dan penelitian tanpa pengabdian, ibarat pohon rindang yang tak pernah berbuah. Indah dilihat, kuat berdiri, tetapi tidak memberi manfaat nyata bagi sekitar.
Pengalaman terjun langsung ke masyarakat membuat kami menyadari bahwa ilmu bukan sekadar hafalan teori. Ia baru bermakna ketika dipraktikkan untuk memberi solusi, mendengar aspirasi, dan berinteraksi dengan realitas sosial.
Saat melakukan pengabdian, kami tidak hanya berbicara di depan masyarakat, melainkan juga belajar dari kearifan lokal mereka.
Kawan GNFI, pengalaman semacam ini jarang bisa kita dapatkan hanya di dalam kelas. Organisasi, kegiatan sosial, dan pengabdian masyarakat memberi kesempatan untuk menempa diri.
Dari situ, kami belajar bagaimana berkomunikasi dengan berbagai pihak, mengelola konflik internal, hingga mempraktikkan kepemimpinan yang sesungguhnya.
Kini, masing-masing dari kami sedang fokus pada studi di jalur yang berbeda. Ada yang melanjutkan pendidikan, ada pula yang sibuk dengan riset dan kerja-kerja profesional.
Namun, kami sepakat bahwa kisah di perguruan tinggi—dari persahabatan hingga organisasi—adalah fondasi penting bagi langkah selanjutnya.
Pepatah “pengalaman adalah guru terbaik” bukan lagi sekadar kalimat klise, melainkan nyata adanya. Melalui pengalaman, kami menemukan arti Tridharma Perguruan Tinggi yang sesungguhnya: mengajar dengan hati, meneliti dengan rasa ingin tahu, dan mengabdi dengan ketulusan.
Perguruan tinggi memang memberi kita ruang untuk belajar teori, tetapi pengalamanlah yang membuat teori itu bernyawa. Persahabatan, organisasi, dan pengabdian masyarakat adalah laboratorium kehidupan yang tak ternilai. Bagi kami berlima, pengalaman itu bukan hanya bagian dari masa lalu, melainkan bekal berharga untuk masa depan.
Kawan GNFI, mari kita ingat kembali pesan sederhana ini: jangan pernah meremehkan pengalaman, sebab di sanalah kita menemukan guru terbaik dalam hidup.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News