Awal Juni 2025, jagat maya dikejutkan dengan berita mantan narapidana terorisme (napiter) Bom Bali 2002 yang membuka bisnis kopi di Surabaya. Pembukaan kedai kopinya ini menuai banyak komentar dari khalayak ramai.
Adalah Umar Patek. Mantan teroris yang sempat menjadi buronan yang paling dicari oleh pemerintah Indonesia, Australia, Amerika Serikat, dan Filipina karena keterlibatannya dalam kasus terorisme.
Ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara di bulan Juni 2012. Kemudian, ia resmi dibebaskan pada Desember 2022 dan berstatus sebagai “klien pemasyarakatan”, di mana ia wajib mengikuti program bimbingan dari Balai Pemasyarakatan hingga 2030 nanti.
Umar menerangkan jika ia berkomitmen untuk meninggalkan masa lalunya yang kelam dan memulai hidup baru dengan membuka usahanya sendiri. Setelah beberapa waktu menganggur, ia “disponsori” oleh seorang pengusaha, David Andreasmito, yang juga berprofesi sebagai dokter gigi untuk memulai bisnis baru.
Eks-napiter memang memiliki stigma negatif di kalangan masyarakat. Hal ini membuat mereka sulit diterima di lingkungan sosial.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., menjelaskan perlunya pembinaan dan pembekalan bagi para eks-napiter agar mereka dapat mandiri secara finansial. Menurutnya, masyarakat perlu bersikap terbuka bahwa mantan napiter tidak serta merta dilepas, tetapi juga telah mendapatkan bimbingan dari instansi terkait.
Lebih dari itu, ia juga berujar jika pembinaan dari pemerintah juga bekerja sama dengan perguruan tinggi. Pembinaan yang dilakukan pun tidak hanya terbatas dari nilai nasionalisme dan keagamaan saja, tetapi juga dari sisi akademis sebagai bekal bagi eks-napiter setelah keluar dari bui.
Dari Ancaman Jadi Harapan, Optimisme Menyeruak dengan Turunnya Kasus Terorisme di Indonesia
Perguruan Tinggi Bisa Beri Beasiswa
Zuly menganggap sinergi antara pemerintah dengan perguruan tinggi dapat membantu membentuk karakter eks-napiter yang mencintai bangsanya. Ia juga mencontohkan kampus yang memberikan beasiswa bagi mantan teroris ini untuk mengenyam pendidikan lanjutan, bahkan hingga S3.
“Sebenarnya, program seperti ini sudah mulai dilakukan di beberapa daerah. Misalkan di Jawa Timur, terdapat Eks-Napiter yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah, salah satunya oleh Universitas Muhammadiyah Malang. Eks-Napiter ini sempat terlibat dalam kasus Bom Bali 2, dan setelah keluar dari Nusa Kambangan ia dibina oleh BNPT dan Universitas Muhammadiyah Malang bahkan disekolahkan hingga S3,” jelas Zuly.
Program seperti ini secara tidak langsung akan membantu menjadikan eks-napiter masuk ke dalam bagian yang tak terpisahkan dari warga negara biasa. Zuly juga menegaskan bahwa tidak ada ketentuan dalam Islam yang mempertentangkan kecintaan pada negara.
“Sebagai warga negara, kita semua punya hak yang sama untuk mencintai negara atas kondisi apapun atas pesan dari agama. Saya melihat para eks-napiter di Yogyakarta ini orang-orang yang tulus. Terlepas dari masa lalu mereka, kita harus dapat saling menerima dengan baik dan terbuka sebagai bentuk rekonsiliasi yang harus terus dikembangkan,” imbuhnya.
Korelasi antara nilai-nilai keagamaan dan nasionalisme menjadi aspek yang harus dipupuk semua pihak, termasuk perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan di masyarakat. Di sisi lain, Zuly juga menegaskan kembali jika tidak ada pertentangan antara pesan kebangsaan, nasionalisme, dan agama.
Dari Tanam Padi hingga Telur Puyuh, Cara Eks Napiter Terorisme agar Berdikari
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News