Lautan Indonesia menyimpan kekayaan hayati yang luar biasa, dan salah satu bernilai ekonomi tinggi adalah abalon. Moluska laut ini bukan hanya sekadar hewan laut biasa, melainkan sebuah komoditas mahal yang menyimpan segudang potensi untuk bidang pangan, kesehatan, dan ekonomi.
Baru-baru ini, temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di perairan Gunungkidul, Yogyakarta, semakin mengukuhkan posisi abalon sebagai aset strategis nasional yang patut mendapat perhatian serius.
Mengenal Abalon: Si Siput Bertindik
Secara biologis, abalon termasuk dalam genus Haliotis, yang dalam bahasa Yunani berarti "telinga laut", merujuk pada bentuk cangkangnya yang pipih dan melebar menyerupai telinga.
Hewan ini tergolong dalam kelas Gastropoda (siput) dan famili Haliotidae. Ciri khas yang paling mencolok adalah cangkangnya yang keras, berbentuk oval, dan memiliki baris lubang-lubang kecil di sepanjang salah satu sisinya yang berfungsi untuk pernapasan dan mengeluarkan limbah.
Dagingnya yang melekat kuat pada cangkang adalah bagian yang dapat dimakan dan sangat digemari. Abalon adalah hewan herbivora yang aktif pada malam hari (nokturnal), memakan alga dan rumput laut dengan menggunakan lidahnya yang kasar seperti parutan (radula).
Habitat dan Persebaran di Indonesia
Abalon umumnya menghuni perairan laut yang jernih dan berarus deras di zona intertidal (pasang surut) hingga subtidal yang dangkal. Mereka sering ditemukan menempel erat pada permukaan karang atau batu di bawahnya, memanfaatkan kekuatan otot kaki yang besar untuk melekat kuat menghadapi ombak.
Di Indonesia, setidaknya terdapat tujuh spesies abalon yang tersebar. Yang menarik, dari tujuh spesies tersebut, empat di antaranya berhasil diidentifikasi oleh BRIN hidup di perairan Gunungkidul, yaitu Haliotis asinina (Abalon Tikus), Haliotis squamata, Haliotis varia, dan Haliotis ovina. Panjang garis pantai Gunungkidul dengan ekologi yang bagus menjadi pendukung ideal bagi pertumbuhan mereka.
Dari Hidangan Mewah hingga Obat-Obatan
Pemanfaatan abalon yang paling utama adalah sebagai sumber pangan. Dagingnya yang kenyal, gurih, dan lezat dianggap sebagai makanan laut mewah (seafood) dan memiliki harga jual yang sangat tinggi, terutama di pasar internasional seperti Tiongkok, Jepang, dan Hong Kong. Abalon biasanya diolah menjadi sup, sashimi, dikeringkan, atau dibuat kalengan.
Namun, di balik kenikmatannya, tersimpan kandungan gizi yang luar biasa. Seperti diungkapkan oleh Peneliti Ahli Utama BRIN, Dwi Eny Djoko Setyono, dalam 100 gram daging abalon terkandung sekitar 20 gram protein, menjadikannya sumber protein tinggi yang sangat baik.
Kandungan lemaknya sangat rendah (0,1 gram) dan hampir tanpa kolesterol. Abalon juga kaya akan omega-3 dan omega-6 yang baik untuk kesehatan jantung, serta mineral lengkap seperti kalsium, fosfor, dan zat besi untuk kekuatan tulang. Vitamin A, B12, dan E di dalamnya berkontribusi pada kesehatan mata, saraf, dan kulit.
Lebih dari sekadar makanan, penelitian BRIN membuka potensi pemanfaatan yang lebih luas. Isi perut abalon mengandung enzim yang bermanfaat, dan lendirnya memiliki sifat anti-peradangan dan anti-pembengkakan.
Temuan ini membuka peluang untuk pengembangan obat-obatan inovatif dan produk kosmetik anti-penuaan (anti-aging).
Baca juga Dua Spesies Siput Laut Langka Ditemukan di Sulawesi Utara, Warna Mencolok dan Tak Bercangkang!
Tantangan dan Harapan Budi Daya di Gunungkidul
Meski potensinya sangat besar, pengembangan abalon di Gunungkidul menghadapi tantangan signifikan. Gelombang laut yang tinggi khas pesisir selatan Jawa menyulitkan pencarian lokasi budi daya yang aman.
Saat ini, nelayan tradisional hanya dapat menangkap abalon secara tidak konsisten saat air laut surut panjang, yaitu pada saat purnama dan bulan gelap.
Menghadapi tantangan ini, Djoko mengusulkan solusi berbasis keberlanjutan. “Kita perlu menebarkan benih sebanyak mungkin melalui restocking. Lalu, mengatur regulasi agar nelayan hanya menangkap abalon yang ukuran panjang cangkangnya lebih dari 5 sentimeter. Karena pada ukuran tersebut, abalon sudah bertelur dan berkontribusi terhadap proses regenerasi populasi di alam,” tegasnya.
Langkah ini sangat krusial untuk menjaga populasi alami sekaligus memastikan kelestariannya.
Dengan menerapkan budi daya terkontrol, program restocking benih, dan regulasi penangkapan yang ketat, abalon tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir Gunungkidul melalui nilai ekonominya yang tinggi, tetapi juga dapat menjadi contoh nyata dalam melestarikan ekosistem laut untuk generasi mendatang.
Abalon Gunungkidul adalah bukti bahwa kekayaan alam Indonesia, jika dikelola dengan bijak dan berkelanjutan, dapat menjadi sumber kemakmuran yang tak ternilai harganya.
Baca juga Siput Gelembung Batik di Selat Sempu Malang, Seperti Apa Rupanya?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News