Dalam sebuah webinar bertajuk “Eksplorasi Bahasa dan Sastra dalam Etnomedisin Masyarakat Etnik di Perbatasan” yang diselenggarakan pada Rabu (27/8), peneliti BRIN, Dwi Wahyuni, memaparkan temuan luar biasa dari risetnya di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.
Sebagai peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi berhasil mengidentifikasi dan mendokumentasikan 82 tanaman obat dan 38 tanaman rempah yang digunakan oleh Suku Dayak Golik dalam praktik pengobatan tradisional.
Riset ini berfokus pada masyarakat yang tinggal di Kecamatan Beduai, Entikong, dan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat – sebuah wilayah yang hidup dalam dua perlintasan budaya namun sering kali mengalami keterbatasan akses kesehatan.
Masyarakat Perbatasan dan Ketergantungan pada Alam
Masyarakat perbatasan, seperti Suku Dayak Golik, menghadapi tantangan geografis yang signifikan. Pusat pelayanan kesehatan seringkali berada sangat jauh dari pemukiman mereka, sehingga mereka mengandalkan tanaman-tanaman yang tersedia di sekitar hutan dan sungai sebagai bentuk pertolongan pertama sebelum mampu mengakses layanan kesehatan modern.
Menurut Dwi, kondisi ini tidak hanya mencerminkan adaptasi terhadap keterbatasan, tetapi juga menunjukkan kedalaman pengetahuan lokal yang telah berkembang dan diwariskan selama berabad-abad. Tanaman seperti jahe, kencur, lengkuas, sirih, kemiri, dan kunyit digunakan dalam berbagai ramuan, baik untuk diminum, dilulurkan, atau menjadi campuran air mandi.
Lebih dari Sekadar Pengobatan Fisik
Yang membuat temuan ini begitu istimewa adalah bahwa praktik pengobatan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sangat spiritual. Doa-doa dan mantra dalam bahasa Dayak merupakan bagian integral dari proses penyembuhan.
Hal ini menunjukkan bahwa etnomedisin bukan hanya tentang ramuan tanaman, tetapi juga tentang keyakinan, budaya, dan dunia simbolik yang dalam.
“Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun melalui jalur keluarga atau komunitas tertentu. Tidak semua orang bisa mengakses atau mempraktikkannya. Ada sistem pewarisan yang sangat tertutup dan dianggap sakral,” jelas Dwi.
Uniknya, pewarisan ilmu ini bahkan sering kali terjadi melalui mimpi atau ilham, yang menandakan bahwa hanya orang-orang terpilih yang dapat mewarisi pengetahuan tersebut.
Baca juga Wedang Salam, Minuman Tradisional Khas Yogyakarta yang Diyakini Jadi Obat Asam Urat dan Kolesterol
Peran Bahasa dan Ancaman Kepunahan
Dari sudut pandang kebahasaan, penelitian ini berhasil mengidentifikasi 19 kata dasar dan 19 kata turunan yang terkait dengan tanaman obat dan rempah. Leksikon-leksikon ini, seperti "adas", "jahe merah", atau "asam jawa", bukan sekadar kata; mereka adalah penjaga pengetahuan budaya yang sangat berharga.
Dwi menekankan bahwa bahasa berfungsi sebagai media transmisi pengetahuan yang memiliki kekuatan simbolik dan spiritual yang diyakini dapat memperkuat efek pengobatan.
Namun, di balik kekayaan ini, terdapat ancaman serius, yakni generasi muda semakin sedikit yang tertarik untuk mempelajari dan melestarikan pengetahuan ini. Jika tidak segera didokumentasikan, bukan tidak mungkin leksikon dan seluruh sistem pengetahuan ini akan punah ditelan zaman.
Sebuah Dokumentasi Ilmiah
Penelitian yang dilakukan Dwi dan timnya bukan hanya tentang pendataan tanaman, tetapi juga upaya penyelamatan warisan budaya yang tak ternilai. BRIN, melalui riset semacam ini, berperan penting dalam mendokumentasikan kearifan lokal yang sering terabaikan, khususnya di daerah perbatasan.
Temuan ini membuka peluang kolaborasi yang sangat besar antar disiplin ilmu. Ilmu kesehatan dan farmasi dapat meneliti lebih lanjut khasiat tanaman-tanaman tersebut untuk pengembangan obat modern.
Sementara antropologi dan linguistik dapat mendalami aspek budaya dan bahasa yang melatarbelakangi praktik ini. Contohnya, resep untuk pemulihan pasca persalinan, mengatasi keputihan, atau sebagai kontrasepsi alami, dapat menjadi titik awal penelitian farmakologi yang sangat berharga.
Warisan yang Harus Diselamatkan
Dwi menutup paparannya dengan seruan yang menggugah: “Jangan sampai ahli-ahli pengobatan tradisional ini hilang dari negara kita. Mereka menyimpan warisan yang harus dilestarikan.” Penelitiannya adalah pengingat betapa kayanya Indonesia akan pengetahuan lokal, namun juga betapa rentannya warisan tersebut jika tidak mendapatkan perhatian dan apresiasi.
Modernisasi memang tidak dapat dihindari, tetapi bukan berarti kearifan lokal harus tergantikan. Justru, integrasi antara pengetahuan tradisional dan sains modern dapat melahirkan inovasi yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Upaya BRIN ini adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa warisan leluhur tidak hilang, tetapi justru dipelajari, dihargai, dan dilestarikan untuk generasi mendatang.
Baca juga Tanaman Obat Indonesia, ‘Superhero’ di Halaman Rumah yang Bikin Dunia Iri
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News