Sekolah Alam Leuser (SAL), membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya persoalan nilai akademik, tetapi juga bagaimana menanamkan cinta dan kepedulian akan alam.
Berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berdiri bangunan unik yang dirancang dari kekayaan alam. Bambu yang kokoh, kursi rotan, dan ruang terbuka yang langsung menerpa alam. Sekolah Alam Leuser menjawabnya melalui gaya pendidikan formal dengan berbasis alam.
Sosok dibalik Sekolah Alam Leuser
Salah satu kunci utama dibelakang perkembangan SAL adalah seorang bernama Darsimah Siahaan. Ia merupakan Ketua Yayasan Sekolah Alam Leuser yang percaya bahwa pendidikan yang dekat dengan alam dapat membentuk generasi baru yang lebih peduli akan lingkungan.
Darsimah menekankan 3 pilar penting dalam membangun dan mengembangkan Sekolah Alam Leuser. Ketiga pilar krusial ini adalah alam, alamiah, dan sosial. Hal ini menyorot point berupa anak-anak tidak tumbuh dari sisi akademik saja, melainkan juga membentuk karakter teguh dan kuat akan kepedulian menjaga lingkungan tempat mereka tinggal.
70% Kurikulum Nasional dan 30% Kurikulum Alam
Sekolah Alam Leuser tetap mengambil nilai-nilai dari Kurikulum Nasional (K13). Namun campuran dari kedua point pendidikan ini cukup menarik, yakni 70% Kurikulum Nasional ditambah 30% Kurikulum Alam. Dalam hal ini, SAL tidak hanya memuat pelajaran umum, tetapi juga mempelajari terkait alam dan ekosistemnya.
Darsimah menginginkan anak-anak yang belajar di SAL tidak hanya mempelajari tentang pohon ataupun tumbuhan, tetapi juga bagaimana menanam dan merawatnya. Sehingga, anak-anak dapat mengerti arti penting dari konservasi dan lingkungan.
Pendidikan Gratis Berbasis Komunitas
Sekolah Alam Leuser menetapkan biaya gratis dalam pendidikannya. Mulai dari pendaftaran, buku, hingga seragam ditanggung oleh sekolah. Terdapat cara unik juga yang dilakukan untuk membayar sekolah. Dalam hal ini, orang tua murid bisa menyumbangkan bibit-bibit pohon untuk kegiatan penanaman hutan kembali atau reforestasi.
Kegiatan belajar mengajar di SAL sebagian besar tenaga pengajarnya merupakan masyarakat sekitar. Hal ini menjadi upaya dalam pemberdayaan masyarakat lokal sekaligus mempererat hubungan antara sekolah dan komunitas disekitar.
Menghadapi Pendidikan di Pedalaman
Sekolah selalu dianggap sebagai bangunan yang identik dan berciri khas bangunan permanen dan fasilitas modern. Namun, hal ini sedikit berbeda jika dikaitkan dengan Sekolah Alam Leuser. Sekolah ini mengadopsi gaya sederhana yang jauh dari ciri bangunan sekolah pada umumnya.
Di satu sisi, bangunan inilah yang menjadi simbol harapan baru untuk pendidikan masyarakat di pedalaman. Darsimah percaya melalui pendekatan ini akan membuka mata dan perspektif lebih luas akan sekolah bahwasanya sekolah bukan hanya perihal gedung atau bangunan, melainkan mengenai dampak positif yang diberikan kepada sekitar, terutama alam dan lingkungan.
Kini, Sekolah Alam Leuser lebih dari sekolah. Ia merupakan ruang konservasi yang turut membawa perhatian akan pendidikan dan lingkungan. Dalam hal ini, anak-anak yang bersekolah di sini bukan hanya menjadi calon akademisi atau ilmuwan, tetapi juga menjadi pionir dalam menjaga kelestarian alam khususnya Taman Nasional Gunung Leuser.
Sekolah Alam sebagai Ruang Pendidikan Baru Indonesia
Pada tahun 2024 lalu, Darsimah berhasil memperoleh apresiasi SATU Indonesia Awards yang merupakan program yang diselenggarakan oleh Astra. Darsimah Siahaan dan Sekolah Alam Leuser menjadi contoh nyata bahwa pendidikan berjalan beriringan dengan lingkungan. Di Tengah-tengah perkembangan zaman dan isu lingkungan, mereka menjawab dengan penuh keyakinan bahwa tantangan ini bisa dihadapi melalui anak-anak, bahwa menjaga lingkungan dan alam sama pentingnya dengan pelajaran membaca dan berhitung.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


