Desa Palongaan, Kecamatan Tobadak, Kabupaten Mamuju Tengah, kini menjadi sorotan berkat lahirnya sebuah inovasi kreatif yang mengubah cara pandang masyarakat terhadap limbah pertanian. Dari tangan-tangan kreatif mahasiswa Kuliah Kerja Nyata–Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Universitas Gadjah Mada tahun 2025, lahirlah PROCIKKA atau Program Camilan Inovatif Kerupuk Kulit Kakao.
Inovasi ini diprakarsai oleh Erwinda Dwi Chofifah, mahasiswi Fakultas Biologi UGM, bersama timnya yang beranggotakan mahasiswa dari lintas disiplin. Mereka berhasil menyulap limbah kulit kakao yang biasanya hanya menumpuk menjadi camilan gurih dengan nilai gizi dan nilai jual yang tinggi.
Kegiatan yang berpusat di Dusun Polongaan, Desa Palongaan, Kecamatan Tobadak, ini disambut dengan antusias oleh anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) setempat. Kehadiran program tersebut seakan membawa angin segar bagi masyarakat, khususnya para petani dan pelaku usaha kecil yang selama ini mengandalkan hasil pertanian kakao sebagai salah satu sumber penghasilan.
Sebelum program ini dijalankan, tim KKN-PPM UGM telah melakukan koordinasi intensif dengan Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Tobadak untuk memetakan potensi kakao sebagai komoditas unggulan desa. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa Desa Palongaan memiliki produksi kakao yang melimpah.
Pohon kakao tumbuh subur di berbagai lahan milik warga dan kualitas bijinya cukup bersaing di pasaran. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir permintaan pasar terhadap kakao meningkat seiring kenaikan harga jualnya. Fenomena ini menjadikan kakao kembali dilirik sebagai komoditas unggulan daerah.
Sayangnya, pemanfaatan kakao selama ini hanya fokus pada bijinya saja, sedangkan kulit buahnya yang jumlahnya melimpah tidak dimanfaatkan.
“Padahal, kulit kakao memiliki kandungan antioksidan yang sangat tinggi, seperti polifenol, flavonoid, dan tannin. Senyawa ini bermanfaat bagi kesehatan, mulai dari melawan radikal bebas hingga membantu mencegah penyakit di rongga mulut. Sangat disayangkan kalau bahan sekaya ini hanya berakhir sebagai limbah,” ujar Erwinda.
Dalam pelatihan PROCIKKA, ibu-ibu KWT tidak hanya mendapatkan pengetahuan mengenai manfaat kulit kakao, tetapi juga diajak langsung mempraktikkan proses pembuatannya. Kulit kakao yang telah dibersihkan dihaluskan menjadi pasta, dicampur dengan bahan adonan, lalu dipipihkan dan dibentuk sesuai selera. Setelah dijemur di bawah sinar matahari hingga kering, adonan digoreng hingga mengembang menjadi kerupuk renyah dengan aroma khas kakao.
Bagi warga, kegiatan ini menjadi pengalaman baru yang memadukan keterampilan, kreativitas, dan peluang bisnis. “Inovasi seperti ini adalah langkah awal yang baik untuk menggerakkan ekonomi kreatif desa. Kita tidak hanya bicara soal tambahan penghasilan, tetapi juga solusi nyata mengurangi limbah pertanian,” ungkap Bu Narsi, Ketua KWT Dusun Polongaan.
Tidak berhenti pada proses produksi, tim KKN juga memberikan pelatihan tentang strategi pengemasan dan pemasaran produk. Mereka menekankan pentingnya kemasan menarik dan higienis agar kerupuk kulit kakao bisa dipasarkan sebagai oleh-oleh khas Palongaan. “Kami ingin produk ini tidak hanya enak dan sehat, tapi juga memiliki daya saing di pasaran,” tambah Erwinda.
Erwinda menegaskan bahwa inovasi berbasis potensi lokal seperti PROCIKKA dapat menjadi kunci pembangunan desa berkelanjutan. “Semoga PROCIKKA menjadi contoh bahwa limbah bisa diolah menjadi peluang, bukan masalah. Kalau masyarakat bisa memanfaatkan bahan yang ada di sekitar, ekonomi desa akan lebih tangguh,” ujarnya.
Ke depan, PROCIKKA diharapkan menjadi inspirasi bagi desa lain di Mamuju Tengah untuk mengembangkan produk inovatif dari sumber daya lokal. Dengan kolaborasi antara mahasiswa, pemerintah desa, dan masyarakat, Desa Palongaan kini memiliki ikon baru, yakni kerupuk kulit kakao yang bukan hanya lezat, tetapi juga membawa manfaat ekonomi dan lingkungan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News