Latihan rutin kesenian tradisional ketok bambu digelar oleh Komunitas Seni Guyup Rukun setiap malam Selasa pukul 21.00 WIB. Bertempat di RT 2, Dusun Mendak, Kelurahan Kanigoro, Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.
Komunitas ini dipimpin oleh Mardi Suwito. Pada Senin malam, 7 Juli 2025, sesi latihan dihadiri oleh mahasiswa KKN-PPM UGM Tim Asmaraloka Saptosari (2025-YO074) Subunit Desa Kanigoro sebagai bagian dari program inventarisasi budaya lokal.
Latihan ketok bambu malam itu berjalan dengan lancar. Bertempat di pendopo milik warga, suara kentongan bambu terdengar berpadu dengan alunan gamelan, tembang Jawa, dan gerakan tari tradisional.
Beberapa warga memainkan alat musik, sementara lainnya menyanyi. Suasana latihan cukup ramai meski diikuti sebagian besar warga lanjut usia.
“Latihan ini sebenarnya jadi hiburan bagi kami yang sudah tua,” ujar Mardi Suwito.
Festival Literasi dan Minat Bakat: Mahasiswa KKN IPB Ajak Anak-Anak Sindanghaji Semarakkan Budaya Baca
Ia menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar rutinitas, melainkan upaya mempertahankan nilai-nilai budaya lokal di tengah arus budaya modern yang kian mendominasi.
Ketok bambu merupakan kesenian khas masyarakat Kanigoro yang berakar dari pertunjukan rakyat ledhek gogek. Mengangkat kisah cinta segitiga antara tokoh Sumrih, Kasem, dan Umar Moyo.
Cerita tersebut disampaikan melalui perpaduan tari, tembang, dan permainan alat musik, dengan kentongan bambu sebagai instrumen utama.
Selain itu, ketok bambu juga menggabungkan unsur gamelan tradisional seperti kendhang, saron, dan kempul, yang menciptakan warna bunyi yang unik dan dinamis.
Sekilas, ketok bambu tampak serupa dengan karawitan karena sama-sama menggunakan alat musik tradisional. Namun, perbedaannya terletak pada struktur penyajiannya. Karawitan memiliki pola ritme dan vokal yang baku, sedangkan ketok bambu bersifat lebih fleksibel.
Tempo, jumlah penyanyi, serta susunan alat musik dapat disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan. Fleksibilitas inilah yang menjadikannya tampil lebih ekspresif dan meriah.
Meski demikian, upaya pelestarian kesenian ini tak lepas dari tantangan. Saat ini, mayoritas pelakunya adalah warga lanjut usia. Generasi muda cenderung kurang terlibat, karena lebih dekat dengan budaya populer dan digital.
“Anak-anak muda sekarang lebih kenal budaya modern, jadi ya kegiatan ini masih lebih banyak diikuti orang tua,” ungkap salah satu anggota komunitas. Hal ini menjadi pengingat pentingnya regenerasi pelaku budaya agar tradisi tak punah ditelan waktu.
Tim KKN-PPM UGM Hadirkan Ruang Baca Sekolah yang Inklusif dan Digital
Keberadaan Komunitas Guyup Rukun menjadi penopang utama pelestarian seni tradisional di Dusun Mendak. Latihan ketok bambu bukan hanya menjaga harmoni bunyi, tetpi juga memperkuat ikatan sosial antarwarga.
Kehadiran mahasiswa KKN menjadi jembatan dokumentasi dan pengenalan budaya kepada generasi muda. Diharapkan, keikutsertaan mereka dapat membuka ruang-ruang baru untuk melestarikan kesenian lokal.
Di balik kesederhanaannya, setiap ketukan bambu menyuarakan semangat warga Dusun Mendak dalam menjaga identitas budaya. Tradisi ini bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk terus dihidupkan dan diwariskan lintas generasi.
Setiap ketukan bambu, langkah tari, dan tembang yang dinyanyikan, warga Dusun Mendak tetap menjaga harmoni budaya di tengah perubahan zaman.
Kawan GNFI yang ingin melihat lebih dekat bagaimana suasana latihan ketok bambu berlangsung, dapat menyaksikan dokumentasinya melalui video yang telah diunggah di kanal YouTube kami.
Video ini menampilkan cuplikan langsung dari kegiatan latihan, iringan gamelan, serta suasana kebersamaan warga Dusun Mendak. Visual ini menjadi pelengkap dari narasi yang tertulis, sekaligus bentuk nyata pelestarian budaya berbasis digital.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News