Kamojang bukan hanya dikenal karena Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan kopinya. Di kawasan inilah para petani mulai mengolah limbah menjadi sumber daya, dibantu oleh teknologi dari uap panas bumi. Inovasi pengelolaan limbah itu bernama GeO-Fert. Menurut data, teknik ini sudah dimanfaatkan oleh lebih dari 160 petani setempat.
GeO-Fert mengolah limbah pertanian dan rumah tangga menjadi pupuk organik dengan memanfaatkan uap panas bumi bersuhu 60 hingga 70 derajat Celcius.
Teknologi ini dikembangkan oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) sebagai bagian dari strategi ekonomi sirkular berbasis energi bersih. Dengan memanfaatkan uap panas bersuhu 60–70 derajat Celsius, proses fermentasi limbah menjadi pupuk organik bisa selesai dalam waktu hanya 12 jam.
Dalam setahun, GeO-Fert dapat menghasilkan 28,8 ton pupuk organik kering. Hasil ini tidak hanya mempercepat proses produksi, tetapi juga memangkas biaya dan mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia.
“Kami percaya energi bersih harus menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung, bukan hanya lewat listrik, tapi juga lewat manfaat ekonomi dan sosial yang nyata,” kata Julfi Hadi, Direktur Utama PGE.
Apa Itu Teknik Geothermal Dry House yang Antarkan Kopi dari Gunung Kamojang Tembus Pasar Ekspor?
Pemanfaatan Langsung Panas Bumi oleh Masyarakat
Kawasan Kamojang memang unik. Sebagai lokasi PLTP pertama di Indonesia, potensi panas bumi di sini tak hanya mengaliri listrik nasional, tetapi juga bisa dimanfaatkan secara langsung (direct use) untuk kegiatan produktif masyarakat.
Di sinilah GeO-Fert mengambil peran strategis. Dengan pendekatan zero waste dan zero emission, GeO-Fert menjadi model nyata ekonomi sirkular. Pendekatan ekonomi sirkular menjadi strategi penting untuk menciptakan nilai tambah dari sumber daya lokal.
GeO-Fert bukan satu-satunya inovasi dari PGE di Kamojang. Ada pula Geothermal Coffee Process (GCP) yang mempercepat pengeringan kopi menggunakan uap panas.
Proses pengeringan kopi menggunakan GCP lebih cepat, dari yang sebelumnya memakan waktu 30–45 hari, kini hanya membutuhkan 3–10 hari. Prosesnya lebih higienis, konsisten, dan menghasilkan cita rasa yang lebih khas.
“Dengan adanya dry house, proses pengeringan kopi yang biasanya sampai 30 hari kini bisa hanya 8 sampai 12 hari. Rasanya khas, ada aroma buah-buahan yang beda dari yang lain. Harapannya, panen bersama seperti ini bisa terus berlanjut agar petani lainnya juga ikut senang dan merasakan manfaatnya,” ujar Nono, petani sekaligus mitra binaan GCP Kamojang.
Pertamina Geothermal Energy Ulubelu: Negeri Tiga Energi dari Kaki Gunung Tanggamus
Pemanfaatan Energi Panas Bumi Wujud Komitmen Tekan Emisi Karbon
Tak hanya soal uang. Teknologi ini juga membantu mengurangi emisi karbon hingga 20.000 ton CO₂ per tahun dan mendaur ulang lebih dari 1,2 ton sampah organik setiap tahunnya.
Sebagai pengakuan atas inovasinya, PGE menyabet sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk ASEAN Renewable Energy Awards, PROPER Emas dari Kementerian LHK, dan Platinum Champion BISRA 2024. Ini memperkuat posisi Kamojang sebagai pionir energi bersih yang mengakar pada kebutuhan lokal.
Di Kamojang, uap bukan sekadar energi untuk turbin. Ia berubah menjadi pupuk, penggerak perubahan sosial, dan penyelamat bagi petani kecil.
“Inovasi kami di Kamojang, khususnya dalam hal produksi kopi, membuktikan bahwa pemanfaatan energi bisa memperkuat ketahanan pangan, memperluas peluang usaha, sambil tetap menjaga lingkungan,” imbuh Julfi Hadi
Deden Serap 80 Ton Biji Kopi hingga Rangkul Petani Kopi di Kamojang dengan Inovasi Kopi Panas Bumi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News