seni yang tak pernah pergi tapi sering diabaikan - News | Good News From Indonesia 2025

Seni yang Tak Pernah Pergi, tapi Sering Diabaikan

Seni yang Tak Pernah Pergi, tapi Sering Diabaikan
images info

Di tengah derasnya perkembangan teknologi, derasnya arus informasi, dan kehidupan yang semakin serba cepat, seni justru makin sering terabaikan. Bukan karena seni hilang dari kehidupan kita, tetapi karena seni tidak lagi dianggap sebagai bagian penting dari keseharian, apalagi dalam kehidupan yang identik dengan produktivitas dan hasil yang terukur.

Padahal, seni tidak pernah benar-benar pergi. Seni hadir di balik lagu yang menemani perjalanan macet kita, dalam film yang menghibur kita di akhir pekan, dalam ilustrasi kecil di dinding kota, atau dalam tulisan yang mungkin tidak viral tapi penuh rasa.

Sayangnya, seni sering kali hanya dipandang sebagai pelengkap, bukan sebagai kebutuhan.

Ketika Profesi Seni Tidak Dipandang Serius

Banyak orang yang memandang seni bukan sebagai jalur hidup yang rasional. Apa sebabnya? Seni seringkali dianggap tidak selalu mendatangkan penghasilan yang pasti. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi efisiensi dan kepastian ekonomi, profesi yang tidak terlihat menjanjikan langsung dianggap tidak realistis.

Banyak pertanyaan yang sering dilontarkan seperti, "Emang bisa hidup dari itu?" atau "Mau jadi apa nantinya?" terlalu sering menghantui mereka yang memilih jalur kreatif. Namun, kenyataannya, seni mengisi begitu banyak ruang dalam hidup kita, dari perayaan hingga kesedihan, dari rasa bangga hingga pemulihan. 

Seni yang Terpinggirkan dalam Dunia Pendidikan

Salah satu akar persoalan sebenarnya sudah dimulai sejak masa sekolah. Di banyak institusi pendidikan, pelajaran seni hanya dianggap sebagai pelengkap, bukan fondasi pembentukan karakter. Pelajaran seni identik dengan mewarnai atau menyanyi, tapi jarang menyentuh tentang rasa, makna, atau ekspresi diri.

Faktanya, pendidikan seni bukan hanya soal bakat teknis, tetapi tentang bagaimana manusia belajar memahami dunia lewat rasa. Seni membentuk empati, imajinasi, dan kepekaan sosial yang merupakan hal-hal yang tidak bisa diajarkan lewat rumus atau angka.

Logika Ekonomi: Ukuran yang Tidak Selalu Relevan

Masyarakat kita terbiasa menilai segala sesuatu dari sisi manfaat ekonomi. Pertanyaan seperti, "Apa untungnya?" atau "Bisa hidup dari situ?" menjadi semacam standar tak tertulis dalam menilai nilai suatu profesi atau aktivitas, termasuk seni.

Dalam sistem sosial yang pragmatis, yang di mana segala hal diukur dari hasil, cuan, dan efisiensi. Seni sering kali tersingkir karena tidak selalu menunjukan dampak finansial yang cepat dan nyata.

Akibatnya, profesi di bidang seni kerap dipandang sebelah mata, bahkan diragukan. Banyak orang tua takut anaknya menjadi pengangguran jika kuliah seni, atau munculnya komentar seperti, "Emang bisa hidup dari gambar?"

Faktanya, seni tidak bekerja seperti sektor industri atau bisnis. Seni tumbuh dalam proses yang sunyi, perlahan, dan penuh rasa. Seni menyentuh manusia bukan lewat angka, tetapi lewat emosi.

Yang ironis, justru dalam momen paling manusiawi, saat kita sedih, rindu, jatuh cinta, atau kehilangan. Seni selalu menjadi tempat kita pulang. 

Tantangan-Tantangan dalam Menghargai Seni

Selain faktor pendidikan dan ekonomi, terdapat beberapa tantangan lainnya yang membuat seni sulit mendapatkan tempat layak di masyarakat. Bukan karena orang tidak peduli, tapi karena memang proses menghargai seni tidak selalu mudah.

Seni itu subjektif. Seni tidak datang dengan jawaban instan atau hasil konkret. Untuk bisa menikmatinya, seseorang diperlukan untuk berhenti sejenak, merasa, dan merenung.

Sayangnya, di zaman serba cepat ini, tidak semua orang mau atau mampu meluangkan waktu untuk itu. Banyak orang yang lebih memilih hal-hal yang jelas dan praktis, sedangkan seni mengajak kita untuk berjalan perlahan.

Belum lagi, masih ada stereotip lama yang melekat pada dunia seni. Seniman yang sering dicap "berbeda", "bebas", atau "tidak realistis" seolah seni adalah pilihan hidup yang liar dan tak terarah.

Padahal, proses mencipta karya memerlukan sikap yang disiplin, konsisten, dan kerja emosional yang tidak ringan. Tapi karena jalannya tak seragam dengan ritme kehidupan kantoran, banyak yang memandang remeh kerja di dunia seni.

Masalah lain adalah minimnya ruang publik yang benar-benar memberi tempat bagi seni. Di banyak kota, panggung seni kalah pamor dari pusat perbelanjaan. Galeri terbuka, teater, atau taman budaya belum menajdi bagian dari keseharian.

Bagaimana mungkin masyarakat bisa dekat dan terbiasa dengan seni jika mereka nyaris tidak pernah bertemu dengannya?

Dan di era digital seperti sekarang, seni juga harus bersaing dengam arus informasi yang nyaris tak ada jeda. Banyak karya bagus yang hanya sempat dilihat sekilas saat kita sedang scroll media sosial. Mungkin sempat di-like, di-repost, lalu menghilang ditelan algoritma. Seni kehilangan ruang untuk benar-benar dirasakan.

Menghargai Seni: Bukan Soal Elit, tapi Soal Rasa

Menghargai seni bukan berarti kita harus menjadi kolektor lukisan atau penonton setia pertunjukan. Bukan juga soal paham teori atau hafal nama maestro.

Menghargai seni bisa dimulai dari hal sederhana, seperti mengapresiasi karya teman, membaca puisi dengan perlahan, mendengarkan musik tanpa distraksi, atau memberi ruang bagi diri sendiri untuk mengekspresikan rasa, baik secara tulisan, gambar, atau gerak.

Karena saat kita memberi ruang pada seni, kita sedang memberi ruang pada sisi manusia kita yang paling dalam yang tidak dapat diukur oleh angka, tetapi dapat dirasakan oleh hati. Dan siapa tahu, justru dari ruang itu, kita bisa lebih utuh menjadi manusia. Seni memang tidak selalu menyelamatkan dunia. Tetapi, seni bisa menyelamatkan seseorang. Diam-diam dan dalam diam. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.