Perang Jawa sudah berlalu 200 tahun yang lalu. Kendati demikian, semangat perjuangan Pangeran Diponegoro tetap terjaga lewat seni.
Perang Jawa merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang berpengaruh besar terhadap peradaban di Nusantara. Bagaimana tidak, perang ini adalah salah satu konflik terbesar yang pernah terjadi selama masa kekuasaan Belanda di Indonesia. Dampaknya pun tidak main-main. Ratusan ribu warga Jawa dan puluhan ribu tentara Belanda meregang nyawa karenanya.
Seperti pernah dicatat GNFI sebelumnya, Perang Diponegoro meletus pada tahun 1825 dan berlangsung selama lima tahun. Konflik ini berakar dari masuknya Belanda ke Nusantara dan campur tangan mereka dalam urusan internal Kesultanan Yogyakarta yang memecah belah kerajaan.
Pangeran Diponegoro yang tidak senang dengan kehadiran Belanda, semakin murka ketika tanah leluhurnya dipatok oleh mereka. Ia mencabut patok-patok tersebut, yang kemudian dianggap Belanda sebagai tindakan pemberontakan dan memicu upaya penangkapannya.
Pada 20 Juli 1825, dua bupati senior Keraton Yogyakarta, Raden Tumenggung Sindunegoro II dan Mas Ario Manduro, dikirim untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, dengan harapan menghindari pertempuran. Namun, setibanya di sana, rumah Diponegoro dibakar habis.
Bersama Mangkubumi, Diponegoro melarikan diri menuju Desa Dekso di Kulonprogo, lalu ke selatan hingga Goa Selarong yang kemudian dijadikan markas militer utamanya. Dari sana, Diponegoro memimpin pasukan yang terdiri dari berbagai kalangan. Selama pelariannya, Diponegoro dibantu banyak orang, mulai dari L Kyai Mojo, I.S.K.S. Pakubuwana VI, hingga Raden Tumenggung Prawirodigdoyo.
Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro berhasil merebut Keraton Yogyakarta. Kemenangan ini diikuti oleh keberhasilan di berbagai wilayah seperti Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, serta meluas ke Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro berhasil menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
Selama perang, Diponegoro menerapkan strategi gerilya dan perang atrisi. Pada puncaknya di tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 tentara, memicu pertempuran sengit dengan infanteri, kavaleri, dan artileri. Belanda juga membangun sistem benteng untuk mengepung pasukan Diponegoro.
Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap, diikuti oleh penyerahan diri Pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo kepada Belanda. Saat itu, Belanda juga menawarkan hadiah besar untuk penangkapan Diponegoro, hidup atau mati.
Pada Februari 1830, Diponegoro setuju bertemu dengan Jenderal De Kock, namun tidak ada kesepakatan. Diponegoro tetap menuntut pengakuan sebagai Sultan Jawa bagian selatan.
Akhirnya, pada Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan penangkapan Diponegoro. Pasukan Belanda berhasil mengepungnya di Magelang pada 28 Maret 1830. Setelah serangkaian pengkhianatan dan tekanan, Diponegoro menyerah pada 25 Maret 1830, dengan syarat pengikutnya dibebaskan. Penyerahan diri ini menandai berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830.
Tembok Jebol, Saksi Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro
Mengenang 200 Tahun Perang Jawa Lewat Seni
Galeri Nasional Indonesia menjadi saksi bisu perpaduan seni dan sejarah dalam pameran "NYALA: 200 Tahun Perang Diponegoro", yang resmi dibuka oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Rabu (17/8). Pameran ini digelar untuk memeringati 80 tahun Kemerdekaan RI sekaligus mengenang dua abad peristiwa heroik Perang Diponegoro (1825–1830).
Melalui 33 karya seni dari 26 perupa, pameran ini mengajak publik menelusuri nilai perlawanan Pangeran Diponegoro lewat lukisan, patung, hingga teknologi augmented reality.
"Hari ini kita tidak hanya memperingati perang, tetapi menggali kembali semangatnya, sebuah nyala moral, spiritual, dan intelektual yang relevan untuk zaman kita," tegas Fadli Zon dalam sambutannya.
Tema NYALA dipilih sebagai metafora semangat yang terus menyala, bukan sekadar dalam bentuk fisik, melainkan sebagai warisan budaya. Menurut kurator Citra Smara Dewi,, pameran ini membuktikan sejarah bukan narasi tunggal, melainkan lapisan makna yang terus bisa ditafsir ulang.
Pameran ini juga menampilkan artefak langka seperti arsip, naskah kuno, dan lukisan fenomenal Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang dipinjam dari Istana Kepresidenan.
Pameran yang berlangsung hingga 15 September ini diharapkan menjadi ruang refleksi bersama. Seperti dikutip Fadli Zon dari Pangeran Diponegoro, "Kita akan melawan bukan karena kuat, tetapi karena yang kita perjuangkan adalah benar." Pesan abad ke-19 itu kembali bergema, mengingatkan publik bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan tetap relevan di era modern.
Peristiwa Penjebakkan Pangeran Diponegoro ketika Silaturahmi di Hari Lebaran
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News