Ahmad Musawwir Nasar atau akrab dipanggil Musa adalah aktivis yang fokus memerhatikan nasib pendidikan Indonesia. Ia kerap aktif mengamati dan mengkritisi sistem pendidikan di tanah air dengan masuk ke daerah terpencil untuk mempelajari sekaligus membantu mencari solusi lewat ide-idenya.
Sistem pendidikan memang menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia dari masa ke masa. Kurikulum yang sering berganti adalah contoh masalah yang seolah sulit terpecahkan dari para pemangku jabatan.
Masih banyaknya masalah yang belum terselesaikan itu terus menghantui sampai hari ini. Lalu, akankah kondisi tersebut akan tetap sama ketika Indonesia menginjak usia 100 tahun pada 2045 mendatang. Padahal, pada tahun tersebut pemerintah memproyeksikan Indonesia sudah maju di segala bidang termasuk pendidikan.
Musa pun punya pandangannya sendiri. Menurutnya, situasinya akan 50 banding 50 di mana ia optimistis dengan anak-anak muda di Indonesia tapi tidak untuk pejabatnya.
Optimis dengan Anak-anak Muda
“Kalau dibilang pesimis ataupun optimis aku mungkin 50:50. Di antaranya. Aku masih bertemu dengan orang-orang yang kerja secara kreatif misalnya mengusahakan hal-hal yang bukan tanggung jawab mereka. Contoh kawan-kawan relawan. Persoalannya ialah yang terhormat, beliau-beliau itu yang ada di kota besar,” ucap Musa mengemukakan pandangannya soal cita-cita Indonesia Emas 2045 kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Bagi Musa, sulit menempatkan dirinya ada di sisi optimistis atau pesimistis. Ia menilai masih ada orang-orang yang bekerja kreatif di Indonesia dan berupaya membangun negeri.
Sayangnya dari banyaknya orang bekerja mengeluarkan daya kreativitasnya - terutama dari kalangan anak muda - dilihat Musa jarang atau tiada didukung oleh pemerintah. Menurut Musa, inilah yang menjadi penghalang untuk benar-benar 100 persen optimistis terhadap impian tinggi pemerintah Indonesia pada usia ke-100 nanti.
“Aku optimis ke kawan-kawan anak muda generasi yang bakalan nanti sebagai tulang punggung Indonesia Emas, tapi kalau patokanya pemerintah masih cukup pesimis,” ujarnya.
Guru Perlu Tanda Jasa
Adapun Musa sendiri bukan anak kota yang merasakan mudahnya akses pendidikan dari pemerintah. Ia berasal dari Kepulauan Selayar, sebuah kabupaten yang terletak di selatan Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Berlatar belakang anak kepulauan membuatnya merasakan banyak keterbatasan dan ketimpangan akan tidak meratanya sistem pendidikan. Dari banyaknya ketimpangan itulah Musa sadar akan nasib guru-guru yang tidak sejahtera hidupnya.
Maka dari itu, Musa merasa keberatan dengan narasi lawas yang diturun-temurunkan yaitu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”. Demi mengenyahkan narasi itu, ia kemudian membuat narasi baru sebagai pentingnya memerhatikan kesejahteraan guru, yakni “guru perlu tanda jasa”.
“Narasi dari awal sampai sebelum penutup itu pure dari pengalaman sendiri dan hasil diskusi ataupun baca buku,” ujar Musa.
Musa juga menyebut pertemuannya dengan Abdur Arsyad memunculkan narasi itu. Komika asal Larantuka tersebut memang vokal dengan adanya kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia, terutama daerah. Musa dan kawan-kawannya di Yayasan Semua Murid Semua Guru memberi ide soal ketimpangan sistem pendidikan dan dari situlah narasi akan kepedulian guru itu lahir.
“Hasil ngobrol dengan Kak Abdur Arsyad, dia punya satu special show stand up comedy akhirnya dijadikan tema pahlawan perlu tanda jasa. Tidak spesifik Musa, waktu itu kebetulan saya bergerak di Yayasan Semua Murid Semua Gudu dan termasuk yang memberikan ide-ide soal special show-nya Kak Abdur. Jadi saling terkait,” katanya lagi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News