sedia payung geulis sebelum hujan modernisasi - News | Good News From Indonesia 2025

Sedia Payung Geulis Sebelum Hujan Modernisasi

Sedia Payung Geulis Sebelum Hujan Modernisasi
images info

Tasikmalaya, sebuah nama yang selama ini membisikkan imaji ketenangan. Dalam benak banyak orang, ia adalah potret kota tempat gema zikir dari pondok pesantren terpadu dengan ritmisnya suara alat tenun. Aromanya adalah perpaduan wangi nasi tutug oncom yang khas dan kesederhanaan para warganya.

Namun, melodi syahdu itu kini mulai diiringi sebuah gema raksasa dari kejauhan, sebuah denyut peradaban baru yang kian mendekat. Gema itu bernama Tol Cigatas, mega proyek infrastruktur yang siap mengubah wajah Priangan Timur.

Di ambang perubahan inilah, sebuah pertanyaan mendasar harus kita ajukan pada diri sendiri: sudahkah kita menyiapkan "Payung Geulis" sebelum hujan deras modernisasi ini benar-benar mengguyur?

Pedang Bermata Dua di Atas Aspal

Lebih dalam dari sekadar urusan ekonomi, hujan modernisasi ini membawa serta arus budaya yang kuat. Identitas "Kota Santri" bukan sekadar papan nama. Ia adalah metafora dari identitas kita. Tentu, jalan tol adalah janji, janji akan terpotongnya rantai pasok yang panjang, janji akan geliat ekonomi yang lebih kencang.

Ini adalah sebuah lagu merdu yang membuai kita dengan mimpi kemajuan. Namun, kekhawatiran utama dan paling nyata adalah nasib para pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung sejati perekonomian lokal.

Bayangkan sebuah skenario sederhana: sebuah keluarga dari Jakarta keluar dari gerbang tol baru di Tasikmalaya. Di satu sisi, berdiri megah rest area dengan papan nama restoran cepat saji.

Di sisi lain, tersembunyi di sebuah gang, sebuah warung bakso legendaris. Kemana mereka akan pergi? Tanpa strategi yang matang, kemudahan akses justru bisa menjadi karpet merah bagi raksasa dari luar, sementara para pahlawan lokal kita hanya menjadi penonton.

Ketika Beton Bertemu Adab

Lebih dalam dai sekadar urusan ekonomi, hujan modernisasi ini membawa serta arus budaya yang kuat. Identitas "Kota Santri" bukan sekadar papan nama. Ia adalah cerminan dari ritme kehidupan yang lebih lambat, ikatan sosial yang komunal, dan sistem nilai yang menjunjung tinggi harmoni.

Arus deras dari jalan tol membawa serta kultur metropolitan: kecepatan, efisiensi, dan individualisme. Ini bukan berarti budaya tersebut buruk, namun pertemuannya dengan kearifan lokal harus dimoderasi dengan bijak. Jangan sampai efisiensi menggerus empati, dan jangan sampai individualisme meruntuhkan sendi-sendi gotong royong.

Dilema terbesar justru dihadapi generasi muda. Apakah konektivitas ini akan menjadi alasan bagi mereka untuk semakin mudah "hijrah" mencari peluang di kota besar, atau justru menjadi katalis bagi mereka untuk pulang dan membangun kampung halamannya dengan bekal wawasan baru?

Membuka Payung Kearifan Kita

Maka dari itu, inilah saatnya kita secara sadar dan kolektif membuka dan memperkokoh Payung Geulis kita. Ini bukanlah gerakan anti perubahan, melainkan sebuah aksi persiapan yang cerdas. Upaya ini harus dimulai dari penguatan indentitas dan branding kota secara masif.

Pemerintah daerah, kelompok masyarakat, dan pelaku usaha harus bersinergi menjadikan keunikan di Tasikmalaya sebagai daya tarik utama. Festival budaya yang dikemas modern, promosi digital, hingga penciptaan "Creative Hub" di dekat akses tol bisa menjadi etalase utama yang menyambut para pendatang.

Amunisi berikutnya adalah literasi digital dan kapasitas kewirausahaan yang mumpuni. Pelatihan intensif bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Mengubah seorang pengrajin menjadi technopreneur yang mampu bercerita tentang filosofi produknya di media sosial, atau membantu pemilik warung nasi TO mengelola pesanan online, adalah langkah kongkret untuk membuat mereka naik kelas.

Di sinilah generasi muda yang melek teknologi dapat mengambil peran sebagai jembatan, menghubungkan kearifan generasi tua dengan peluang dunia di dunia maya.

Semua upaya ekonomi ini, pada akhirnya, harus berakar pada fondasi yang paling esensial, yaitu pendidikan karakter dan pelestarian budaya. Lingkungan kerja, sekolah, dan pesantren harus menanamkan pada anak-anak kita sebuah kebanggaan, bahwa menjadi "Orang Tasik" dengan segala budayanya bukanlah sebuah ketertinggalan, melainkan sebuah keistimewan berharga.

Pilihan di Tangan Kita

Pada akhirnya, kedatangan Tol Cigatas adalah sebuah keniscayaan, layaknya hujan yang pasti akan turun. Kita tidak bisa menahannya, dan menolaknya adalah sebuah kesia-siaan. Namun, kita selalu punya pilihan.

Kita bisa membiarkan hujan itu membuat kita basah kuyup, kedinginan, dan hanyut dalam arusnya, atau, kita bisa membuka Payung Geulis kita dengan bangga. Menjadikannya sebagai pelindung identitas, peneduh kreativitas, dan kanopi bagi nilai-nilai luhur kita.

Dengan begitu, kita bisa menai di tengah hujan modernisasi, menyambut setiap tetesnya sebagai berkah yang menyuburkan, bukan sebagai badai yang menghancurkan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MJ
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.