Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu tanaman obat paling populer di dunia yang telah digunakan oleh berbagai peradaban selama ribuan tahun.
Tanaman ini termasuk dalam keluarga Asphodelaceae (sebelumnya diklasifikasikan dalam Liliaceae) dan dikenal sebagai tumbuhan sukulen karena kemampuannya menyimpan air dalam daunnya yang tebal.
Dalam dunia botani, lidah buaya dikategorikan sebagai tanaman xerofit yang mampu bertahan dalam kondisi kekurangan air berkat adaptasi fisiologis yang unik.
Ciri Khas Lidah Buaya
Secara morfologis, lidah buaya memiliki struktur yang sangat khas. Daunnya tumbuh roset dengan panjang 30-50 cm (bahkan bisa mencapai 100 cm pada tanaman dewasa di habitat optimal), berbentuk lanceolate (seperti pedang) dengan ujung meruncing.
Permukaan daun dilapisi kutikula tebal yang berfungsi mengurangi transpirasi, sementara tepinya dilengkapi duri kecil berwarna putih atau kecoklatan yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan.
Lapisan terdalam daun lidah buaya adalah parenkim, suatu jaringan sukulen yang menyimpan air dalam bentuk gel transparan. Jaringan ini mengandung 99% air dan berbagai senyawa bioaktif seperti acemannan, enzim, vitamin, dan mineral.
Gel inilah yang menjadi sumber utama manfaat terapeutik lidah buaya, digunakan secara luas dalam industri farmasi, kosmetik, dan pangan fungsional. Ketiga lapisan ini bekerja secara sinergis memungkinkan tanaman bertahan di lingkungan arid sekaligus menjadi gudang senyawa berkhasiat.
Sistem perakaran lidah buaya termasuk akar serabut yang menyebar secara horizontal, membuatnya mampu bertahan di tanah berpasir dan minim nutrisi. Tanaman ini menghasilkan bunga berbentuk tubular berwarna kuning atau oranye yang tumbuh pada tangkai panjang.
Dari mana asal tanaman lidah buaya?
Berdasarkan bukti arkeologi dan filogenetik, lidah buaya diperkirakan berasal dari Jazirah Arab dan wilayah Afrika Timur Laut. Studi molekuler yang dipublikasikan dalam BMC Evolutionary Biology (2014) menunjukkan bahwa Aloe vera kemungkinan besar merupakan hibrida alami antara Aloe perryi (endemik Yaman) dan Aloe ferox (Afrika Selatan).
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa lidah buaya telah dimanfaatkan oleh berbagai peradaban kuno selama ribuan tahun, dimulai dari penyebutannya dalam tablet tanah liat peradaban Sumeria pada 2100 SM, kemudian tercatat dalam Papirus Ebers Mesir Kuno sekitar 1550 SM sebagai obat luka bakar yang efektif.
Kemudian pada abad ke-4 SM ketika tanaman lidah buaya dibawa oleh tentara Alexander Agung selama ekspansi militernya untuk mengobati luka perang, membuktikan bahwa nilai terapeutik lidah buaya telah diakui secara luas sejak zaman kuno.
Penyebaran global lidah buaya terjadi melalui jalur perdagangan rempah dan kolonisasi. Spanyol membawanya ke Amerika pada abad ke-16, sementara di Asia Tenggara, tanaman ini diperkenalkan melalui perdagangan maritim.
Saat ini, lidah buaya telah dibudidayakan secara komersial di berbagai negara tropis dan subtropis, dengan China, Meksiko, dan Dominika sebagai produsen utama dunia.
Baca juga Ide Olahan Lidah Buaya untuk Dapatkan Manfaat yang Maksimal
Lidah Buaya untuk Mencegah Stunting
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan berbagai produk pangan fungsional, salah satunya berbasis lidah buaya, yang diformulasikan khusus untuk mendukung program percepatan penurunan stunting.
Kandungan nutrisi lidah buaya memiliki mekanisme aksi yang komprehensif dalam mendukung pertumbuhan anak. Pertama, dari segi kandungan mineral, setiap 100 gram gel lidah buaya kering mengandung 3,7 gram kalsium (mencakup 37% Angka Kecukupan Gizi) dan 0,5 gram magnesium. Kedua mineral ini bekerja secara sinergis untuk meningkatkan densitas tulang dan mendorong pertumbuhan linear pada anak.
Kedua, lidah buaya mengandung tujuh dari sembilan asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh, termasuk lisin dan leusin yang berperan penting dalam sintesis protein untuk pertumbuhan. Yang tak kalah penting adalah kandungan polisakarida bioaktif berupa acemannan (mannose-6-fosfat).
Beberapa produk unggulan yang telah dikembangkan antara lain serbuk lidah buaya fortifikasi yang dikombinasikan dengan tepung mocaf untuk makanan pendamping ASI (MP-ASI), minuman granul kombinasi lidah buaya dan rosella yang kaya akan zat besi dengan kandungan vitamin C mencapai 120% AKG per saji, serta krimer non-susu sebagai alternatif pengganti susu bagi anak dengan intoleransi laktosa.
Hasil uji klinis awal menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Balita yang mengonsumsi produk fortifikasi lidah buaya secara rutin selama tiga bulan mengalami peningkatan kadar serum albumin—salah satu indikator status gizi—sebesar 15%. Temuan ini membuka peluang baru dalam penanganan masalah gizi kronis melalui pemanfaatan bahan alam lokal.
Baca juga Lidah Buaya, Tanaman Berjuta Manfaat yang Identik dengan Kota Pontianak
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News