Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sulawesi. Dikenal kaya akan budaya, alam, dan tradisi unik. Berikut ini adalah beberapa fakta unik yang khas dan bisa dibilang hanya ada (atau sangat menonjol) di Sulawesi Selatan.
Upacara Pemakaman Suku Toraja (Rambu Solo')
Ini adalah salah satu yang paling terkenal. “Rambu” artinya asap, “Solo’” berarti turun. Rambu Solo’ diartikan asap yang turun atau simbol kedukaan. Upacara ini adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada orang yang telah meninggal, terutama bagi bangsawan atau tokoh penting.
Di Tana Toraja, upacara pemakaman bukan sekadar ritual, tetapi festival besar yang bisa berlangsung berhari-hari. Ini melibatkan penyembelihan puluhan bahkan ratusan kerbau dan babi, tarian, musik, dan konstruksi rumah adat (tongkonan) baru.
Jiwa orang mati dipercaya tidak akan merasa tenang apabila upacara ini dilaksanakan dengan benar. Upacara tersebut mengantar arwah ke dunia setelah kematian atau biasa disebut dengan alam Puya.
Proses pemakaman ini adalah dengan menyimpan mayat di rumah atau di gua selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun sebelum upacara dilakukan, dan diarak dengan peti jenazah berbentuk perahu.
Jenazah Toraja sering dimumikan secara alami oleh kondisi lingkungan: suhu gua dan liang batu membantu pengawetan. Keunikan ini menarik ribuan wisatawan setiap tahun.
Tradisi Rambu Solo’ Toraja, Tradisi Upacara Kematian yang Termegah dan Termahal di Dunia
Tongkonan, Rumah Adat Suku Toraja dengan Atap Melengkung seperti Perahu
Tongkonan bukan sekadar rumah, tapi pusat kehidupan sosial dan budaya Toraja. Namanya berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk bersama atau tempat berkumpul.
Tongkonan adalah milik komunal sebuah keluarga besar atau klan dan sering diwariskan secara turun-temurun dalam satu garis keluarga. Atapnya yang khas, melengkung menyerupai perahu atau tanduk kerbau, dan dihiasi dengan ukiran-ukiran indah yang bermakna filosofis.
Tata hadap tongkonan bukanlah hal yang dibuat sembarangan. Merujuk pada laman Disbudpar Kabupaten Toraja Utara, tata hadap tongkonan itu merupakan ungkapan simbolik sebagai penghormatan kepada Puang Matua, sang pencipta jagad raya, yang dipercaya bersemayam di bagian Utara. Artinya, tongkonan harus selalu menghadap ke Puang Matua agar selalu mendapat berkah dari-Nya.
Dengan mengacu pada sistem budaya Toraja, maka tata letak/posisi tongkonan menjadi tanda indeks bagi penjuru mata angin: Utara, Selatan, Timur, dan Barat, yang sekaligus bermakna simbolik sebagai penjuru utama dalam pandangan kosmologi Toraja.
Tradisi "Ma'nene" (Ritual Membersihkan Mayat)
Masih di Toraja, ada tradisi unik di mana jenazah leluhur yang telah meninggal dunia dikeluarkan dari peti, dibersihkan, diganti pakaiannya, dan diajak "berjalan-jalan" di desa.
Dalam tradisi Toraja, kematian bukanlah akhir dari kehidupan, tetapi hanya peralihan ke alam Puya. Ritual ini dilakukan setiap beberapa tahun sekali sebagai bentuk penghormatan dan ikatan kekerabatan yang kuat dengan leluhur.
Biasanya ritual ini dilakukan sekali setiap 3—5 tahun, terutama setelah panen atau saat musim kering. Ma’nene sering diliput oleh media global dan banyak wisatawan mancanegara datang ke Toraja khusus untuk menyaksikan ritual ini.
Dalam Pelukan Tradisi, Ma'nene Sebuah Perayaan Cinta dan Kehormatan Leluhur di Toraja
Filosofi Hidup "Siri' na Pacce”
Siri’ na Pacce adalah nilai fundamental yang sangat kuat dan menjadi dasar etika sosial dan budaya bagi Suku Bugis dan Makassar. Ungkapan ini bukan sekadar kata-kata. Namun, merupakan nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun dan masih dijunjung tinggi hingga sekarang.
Siri' yang berarti rasa malu/harga diri adalah martabat atau kehormatan. Pelanggaran terhadap siri' bisa memicu tindakan ekstrem untuk memulihkan kehormatan, bahkan sampai pertumpahan darah di masa lalu. Ini sangat kuat dalam membentuk karakter dan perilaku masyarakatnya.
Pacce yang artinya perasaan iba/solidaritas adalah perasaan peduli, empati, dan solidaritas terhadap sesama, terutama dalam kesusahan.
Jadi, Siri’ na Pacce dimaknai sebagai “Hidup dengan menjaga harga diri dan memperjuangkan empati serta keadilan bersama”.
Keduanya adalah penyeimbang yang membentuk karakter masyarakat Bugis-Makassar. Bahkan dalam dunia modern, filosofi ini mendorong integritas, tanggung jawab, dan solidaritas sosial.
Perahu Pinisi dari Suku Bugis-Makassar
Pinisi adalah kapal layar tradisional buatan tangan kebanggaan Indonesia yang digunakan oleh pelaut-pelaut Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan untuk berlayar lintas Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara, sejak abad ke-14 hingga kini.
Pinisi dibuat oleh masyarakat di Desa Ara, Tana Beru, dan Bira di Kabupaten Bulukumba. Nama “pinisi” mengacu pada jenis layar dan sistem rigging (tali-temali layar), bukan pada bentuk badan kapal itu sendiri.
Pembuatan perahu ini masih menggunakan metode tradisional, tidak menggunakan paku dan tidak menggunakan gambar atau cetak biru. Namun, menggunakan ingatan dan pengalaman yang diwariskan turun-temurun. Satu kapal pinisi bisa memakan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dalam pembuatannya.
Kapal pinisi memiliki 2 tiang layar yang memiliki simbol dualitas hidup; baik-buruk, langit-bumi. Sedangkan 7 layar dalam kapal pinisi mewakili tujuh lautan yang pernah dijelajahi pelaut Bugis-Makassar.
Kapal pinisi memiliki lambang ketangguhan, kerja keras dan kejayaan pelaut Nusantara. Proses pembuatannya pun sarat ritual dan do’a.
UNESCO bahkan telah mengakui seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Warisan Budaya takBenda Dunia di tahun 2017. Kini pinisi sering digunakan sebagai kapal wisata mewah atau liveaboard di destinasi seperti Labuan Bajo, Raja Ampat, dan Komodo.
Fakta-fakta ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya yang ada di Sulawesi Selatan, menjadikannya salah satu destinasi paling menarik di Indonesia! Adakah Kawan GNFI yang tertarik atau sudah pernah mengunjungi Sulawesi Selatan?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News