Kawan GNFI perubahan iklim bukan lagi isu lingkungan semata. Dalam dua dekade terakhir, perubahan iklim telah diakui sebagai ancaman multidimensi yang berdampak pada stabilitas politik, ekonomi, hingga keamanan nasional dan global.
Bencana alam yang semakin sering naiknya permukaan laut, dan ketimpangan sumber daya menuntut negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk memikirkan ulang strategi pertahanannya.
Dalam konteks ini perubahan iklim harus dipahami sebagai tantangan strategis yang membutuhkan respons militer dan diplomatik yang adaptif. Yuk, kita bahas.
Iklim sebagai Ancaman Non-Tradisional
Secara historis, strategi pertahanan negara umumnya difokuskan pada ancaman militer konvensional seperti invasi, terorisme, dan konflik antarnegara. Namun, saat ini ancaman non tradisional seperti pandemi, krisis air, dan perubahan iklim memiliki potensi untuk memicu konflik sosial maupun ketegangan antarnegara.
Laporan Pentagon (2021) menyebut perubahan iklim sebagai "threat multiplier" yakni faktor yang dapat memperburuk ketegangan yang sudah ada, seperti kelangkaan pangan dan migrasi besar - besaran akibat bencana alam.
Ketika suatu wilayah mengalami kekeringan ekstrem atau banjir yang memaksa populasi berpindah, potensi konflik meningkat baik internal maupun lintas batas.
Infrastruktur Pertahanan yang Rentan
Dampak perubahan iklim juga merusak infrastruktur vital pertahanan. Di berbagai negara termasuk Indonesia, banyak pangkalan militer berada di wilayah pesisir yang rawan kenaikan muka air laut. Fenomena seperti badai tropis dan abrasi pantai tidak hanya merusak fasilitas militer, tetapi juga mengganggu kesiapan dan mobilitas pasukan.
Misalnya, beberapa pangkalan angkatan laut di wilayah timur Indonesia yang terletak dekat garis pantai rentan terhadap gangguan cuaca ekstrem. Hal ini bisa mempengaruhi operasi maritim logistik militer, hingga komunikasi.
Karenanya strategi pertahanan perlu memperhitungkan iklim sebagai variabel penting dalam perencanaan infrastruktur dan penyebaran pasukan.
Perlunya Adaptasi Strategi dan Doktrin
Kawan GNFI dalam menghadapi situasi ini, negara perlu mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam doktrin militer dan kebijakan pertahanan. Langkah ini telah diambil oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang telah menyusun strategi keamanan nasional berbasis iklim.
Bagi Indonesia, integrasi ini bisa diwujdukan melalui:
- Pemutakhiran peta risiko strategis yang mempertimbangkan kerentanan geografis terhadap bencana iklim.
- Pelatihan militer untuk tanggap darurat bencana, khususnya di wilayah rawan seperti pesisir utara Jawa, Papua, atau Kalimantan.
- Kolaborasi sipil-militer dalam penanggulangan bencana dan logistik kemanusiaan.
- Kerja sama pertahanan regional yang mencakup mitigasi dan respon iklim lintas batas, misalnya lewat ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM).
Ancaman Kedaulatan dan Geopolitik
Kawan GNFI, perubahan iklim juga berimplikasi pada geopolitik dan batas wilayah negara. Naiknya permukaan laut berpotensi menenggelamkan wilayah teritorial dan memicu sengketa baru, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia.
Negara-negara yang memiliki klaim atas pulau-pulau kecil atau wilayah laut bisa mengalami ketegangan akibat hilangnya referensi geografis yang selama ini digunakan sebagai batas kedaulatan.
Selain itu, perebutan sumber daya yang semakin langka akibat perubahan iklim (seperti air, energi, atau lahan subur) berpotensi memunculkan konflik baru.
Dalam jangka panjang ini menjadi tantangan keamanan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan senjata, melainkan memerlukan diplomasi strategis dan ketahanan nasional yang inklusif.
Indonesia dan Langkah Proaktif
Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan letak geografis yang strategis, Indonesia berada di garis depan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Upaya TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), seperti penanganan bencana dan bantuan kemanusiaan, adalah contoh nyata keterlibatan militer dalam isu non-tradisional.
Namun, ke depan Indonesia memerlukan peta jalan (roadmap) pertahanan yang mempertimbangkan skenario krisis iklim. Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kementerian Pertahanan, hingga BNPB perlu bersinergi untuk memperkuat kesiapsiagaan dan kapasitas respons nasional.
Perubahan iklim bukan sekedar tantangan ekologis, tetapi juga ancaman terhadap kedaulatan stabilitas, dan keamanan negara. Di masa depan, strategi pertahanan tidak bisa lagi dibangun hanya diatas ancaman militer, tetapi harus mencakup ancaman-ancaman baru yang bersifat sistemik dan lintas sektor.
Dengan memahami perubahan iklim sebagai bagian dari strategi pertahanan Indonesia dapat mengambil langkah proaktif untuk menjaga keselamatan nasional dan memperkuat posisinya dalam percaturan global.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News