Karbon biru atau (blue carbon) merupakan nature based solution untuk krisis iklim. Karbon yang dihasilkan dari aktivitas manusia lalu diserap dan disimpan di dalam jaringan ekosistem pesisir dan laut.
Jika dibandingkan pepohonan di darat, kemampuan ekosistem pesisir untuk menyerap karbon 10 kali lebih banyak, contoh dari ekosistem karbon biru di Indonesia adalah hutan mangrove, padang lamun, dan rumput laut.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan panjang garis pesisir 108,000 kilometer (km).
Melansir dari website Sekretariat Negara, Indonesia mempunyai jumlah hutan mangrove terbesar di dunia mencapai 3,63 juta hektar (ha), disusul dengan padang lamun. Berdasarkan fakta tersebut banyaknya ekosistem tersebut Indonesia mampu menyerap 17% karbon yang ada di dunia.
Emisi karbon dihasilkan dari berbagai macam kegiatan manusia contohnya dari bahan bakar sektor transportasi, pabrik semen, minyak dan gas, limbah makanan, biomass.
Sisi Positif Karbondioksida
Di lain sisi, karbondioksida diperlukan tanaman termasuk rumput laut sebagai pemberi energi untuk melakukan proses fotosintesis. Lalu, untuk pembentukan gas rumah kaca secara alami untuk menjadikan bumi hangat dan layak huni.
Namun, apabila tingkat gas rumah kaca berlebih akan menyebabkan perubahan iklim.
Langkah Pemerintah Indonesia dalam Mengembangkan Karbon Biru
Mengutip dari situs World Research Institute Indonesia, menurut Tony Wagey, Direktur Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), “dunia dan Indonesia mulai menaruh perhatian serius terhadap karbon biru. Melalui Indonesia Blue Carbon Strategy Framework sedang mendorong untuk dibentuknya Peta Jalan Karbon Biru Indonesia dan mengintegrasikan karbon biru ke dalam Second National Determined Contributions (NDC) Indonesia. Kemudian mengembangkan karbon biru di daerah Raja Ampat, Minahasa Utara, dan Belitung”.
Baca juga : Karbon dan Ekonomi Biru dalam Upaya Keberlanjutan Lingkungan, Apa bedanya?
Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi mengurangi gas rumah kaca sebesar 31,89% / 43,20% melalui dukungan internasional. Target tersebut mengacu pada Paris Agreement tahun 2015 untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5%.
Pemerintah Indonesia perlu untuk memproteksi ekosistem karbon biru. Tak kalah penting untuk membuat rangkaian kebijakan dari level nasional hingga lokal, skema pendanaan, serta manajemen teknis, sumber daya manusia yang efektif dalam proses implementasi.
Masyarakat pesisir juga perlu dilibatkan dalam implementasi proyek-proyek karbon biru mengingat mereka yang tinggal di daerah tersebut dan memiliki mata pencaharian dari hasil sumber daya laut.
Selain melindungi tempat tinggal warga daerah pesisir dari perubahan lingkungan karena faktor alam, ketiga ekosistem karbon biru juga memiliki manfaat dari segi ekonomi.
Manfaat Karbon Biru bagi Masyarakat Pesisir
Karbon biru memiliki beberapa manfaat yang baik untuk bumi, seperti menyerap karbon, melindungi pesisir pantai dari erosi dan kenaikan air laut, sarana ekowisata, melindungi biodiversitas laut, dan meningkatkan produktivitas perikanan di kawasan pesisir.
Ancaman yang dapat menyerang ekosistem karbon biru: perubahan lahan menjadi pemukiman, hotel, resort, restoran, beach clubs; penangkapan ikan dengan cara destruktif menggunakan bahan peledak maupun jaring yang tidak ramah lingkungan; polusi plastik dari sampah rumah tangga lewat aliran sungai; polusi kimia dari limbah pabrik dan pupuk kimia; deforestasi lahan; dan pengasaman air laut dari proses penyerapan karbon berlebihan.
Baca juga : Fakta Menarik Rumput Laut, Penyeimbang Rantai Makanan di Laut
Nelayan banyak memancing di daerah padang lamun sebagai tempat ikan-ikan bernaung dan tambak udang di pesisir. Hutan mangrove sebagai yang terbesar 20,37% di dunia dapat dimanfaatkan untuk sarana bertani, memancing dan juga ekowisata.
Kemudian, rumput laut dapat dibudidayakan dan dijual untuk bahan baku pangan, kosmetik dan obat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News