mengurai kuriak yang kusuik cerita pangan tradisi dan ketahanan dari bukittinggi - News | Good News From Indonesia 2025

Mengurai Kuriak yang Kusuik : Cerita Pangan, Tradisi, dan Ketahanan dari Bukittinggi

Mengurai Kuriak yang Kusuik : Cerita Pangan, Tradisi, dan Ketahanan dari Bukittinggi
images info

Tahukah Kawan GNFI kalau dalam budaya Minangkabau, terdapat satu ungkapan bijak yang berbunyi "Kuriak kusuik indak dapek diurai jo cubo-cubo, tapi kudu diurai sabuih-sabuih." Artinya, masalah yang rumit tidak bisa diselesaikan dengan tergesa - gesa, melainkan dengan kesabaran dan ketekunan.

Namun siapa sangka, ungkapan ini bukan hanya warisan tutur kata. Tetapi juga melekat pada satu warisan pangan yang tak kalah penting. Beras Kuriak Kusuik, varietas lokal khas Bukittinggi, Sumatera Barat.

Di Tengah derasnya arus beras-beras modern, nama Kuriak Kusuik mungkin tak lagi sepopuler dulu. Akan tetapi di balik tiap bulirnya, tersimpan cerita tentang identitas, kearifan lokal, dan harapan ketahanan pangan Indonesia. Yuk, kita bahas.

Mengenal Beras Kuriak Kusuik

Kawan GNFI, Beras Kuriak Kusuik memiliki karakteristik yang unik bentuknya lebih kecil dan sedikit membulat dibandingkan beras umumnya. Ketika dimasak, teksturnta pulen dan aromanya khas, cocok dipadukan dengan sajian kaya rempah ala kuliner Minang.

Dinamai "Kuriak Kusuik" karena bentuk bulirnya yang seolah saling bertaut, nama ini seakan mempresentasikan kompleksitas sekaligus kekayaan dari sistem pertanian tradisional Minang. Sebuah sistem yag tak hanya mengatur soal tanam dan panen, tapi juga menyatu dengan adat, musyawarah dan semangat gotong royong.

Kearifan Lokal di Balik Sawah Minang

Di ranah Minangkabau, sawah bukan sekedar ladang pangan. Tetapi bagian dari kehidupan sosial. Di banyak nagari, sistem pertanian dikelola bersama melalui kesepakatan adat. Kegiatan tanam dan panen dilakukan serentak, saling bantu antarpetani bukanlah hal aneh, dan hasil panen sering kali dibagi bukan hanya untuk dijual, tapi juga untuk kebutuhan bersama.

Destinasi Tempat Wisata Kuliner Bukittinggi yang Menghadirkan Cita Rasa Unik

Kawan GNFI, Beras Kuriak Kusuik lahir dari semangat kolektif ini. Ditanam secara turun temurun, varietas ini bertahan bukan karena daya saing pasar semata, tapi karena ada kesadaran untuk menjaga warisan.

Para petani bahwa mempertahankan benih lokal bukan soal untung-rugi cepat, tapi investasi jangka panjang bagi budaya dan lingkungan.

Pangan Lokal, Jawaban Krisis Global?

Saat dunia menghadapi tantangan perubahan iklim, inflasi harga pangan, dan ketergantungan pada impor, perhatian terhadap pangan lokal semakin penting. Di sinilah posisi beras seperti Kuriak Kusuik menjadi relevan kembali.

Beras lokal biasanya lebih tahan terhadap kondisi iklim setempat, membutuhkan perawatan yang lebih rendah, dan tidak bergantung pada input mahal seperti pupuk impor. Dalam konteks ini, Kuriak Kusuik bukan sekedar "beras tradisional", tapi juga sumber ketahanan pangan yang adaptif dan berkelanjutan.

Di beberapa daerah, muncul inisiatif untuk menghidupkan kembali varietas lama seperti Kuriak Kusuik. Pemerintah daerah, kelompok petani, hingga komunitas pemuda mulai menaruh perhatian pada pada pentingnya melestarikan benih asli daerah. Di era krisis iklim, hal-hal seperti ini bukan nostalgia tapi langkah strategis.

Pangan dan Identitas: Lebih dari Sekedar Makan

Makanan adalah cermin budaya. Dalam masyarakat Minang, bukan sekedar aktivitas biologis, tapi juga sosial dan spiritual. Sajian seperti rendang, dendeng balado, atau gulai tunjang punya makna tersendiri dan semua itu biasanya disandingkan dengan nasi.

Maka ketika beras lokal seperti Kuriak Kusuik perlahan tergeser, ada yang ikut tergeser dari identitas kita. Rasa masakan bisa saja tetap lezat, tapi ada sensasi dan makna yang menghilang: tentang lading yang diwariskan, tentang musim tanam yang ditentukan lewat musyawarah, dan tentang rasa bangga menyajikan hasil bumi sendiri.

Kawan GNFI, dengan mempertahankan beras Kuriak Kusuik, masyarakat Bukittinggi dan Sumatera Barat pada umumnya sedang mempertahankan sesuatu yang lebih besar: jati diri kuliner dan nilai – nilai sosial yang menyertainya.

Nasi Kapau Nasi Padang

Mengurai Kusuik dengan Harapan

Menghidupkan kembali beras Kuriak Kusuik memang tidak mudah. Dibutuhkan dukungan dari banyak pihak mulai dari petani, pemerintah daerah, komunitas, hingga konsumen. Namun sebagaimana pepatah tadi, “kuriak kusuik indak dapek diurai jo cubo-cubo”, tantangan ini tak bisa diselesaikan instan. Tetapi butuh proses, butuh kerja sama, dan yang paling penting butuh kesadaran kolektif.

Berita baiknya, upaya itu mulai terlihat. Beberapa kelompok tani sudah mulai menanam kembali varietas ini. Festival kuliner lokal mulai memperkenalkan Kuriak Kusuik sebagai identitas.

Bahkan, ada potensi besar bagi UMKM kuliner untuk menjadikan beras ini sebagai keunggulan produk khas daerah.

Apa yang Kita Simpan di Piring Kita?

Setiap kita menyendok nasi, Kawan GNFI menyentuh sesuatu yang lebih dari sekedar karbohidrat, tetapi juga menyentuh sejarah, budaya, dan keputusan–keputusan besar soal pertanian, perdagangan, dan keberlanjutan. Pertanyaan sederhana yang bisa direnungkan adalah: apa yang ingin diwariskan di piring anak cucu kelak?

Jika jawabannya adalah rasa yang otentik, proses yang berkelanjutan, dan identitas yang membumi, maka beras seperti Kuriak Kusuik layak dipertahankan. Karena di balik bulir – bulir kecil itu, tersimpan cerita besar tentang pangan, tradisi, dan harapan Indonesia yang tak mudah putus.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.