Di atas kertas, Indonesia telah berkomitmen menjadi bangsa yang inklusif, termasuk dalam hal pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas. Sejak diterbitkannya Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, banyak sekolah menyandang predikat “sekolah inklusif”. Namun, di balik label tersebut, realitas di lapangan berkata lain.
Masih banyak peserta didik difabel yang merasa tak sepenuhnya diterima di ruang belajar. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ditolak secara halus oleh pihak sekolah dengan alasan keterbatasan tenaga pendidik atau belum siapnya fasilitas yang mendukung kebutuhan khusus.
Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan krisis kemanusiaan yang perlu segera ditanggapi secara serius.
Data dari Komisi Nasional Disabilitas (Komnas Disabilitas) tahun 2023 menyebutkan bahwa dari 1.6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, hanya sekitar 18% yang berhasil mengakses pendidikan di sekolah formal, dan lebih sedikit lagi yang mendapat pendidikan yang layak sesuai kebutuhan mereka.
Bahkan, menurut survei UNESCO dalam Global Education Monitoring Report 2023, hanya 12% dari sekolah inklusif di Indonesia yang benar-benar menyediakan tenaga pendidik yang terlatih dalam pendidikan anak difabel. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara regulasi dan implementasi.
Ironisnya, banyak sekolah yang hanya menggunakan istilah “inklusif” sebagai formalitas administratif demi memenuhi tuntutan kebijakan atau syarat akreditasi. Dalam praktiknya, peserta didik difabel tetap diperlakukan sebagai “tamu” di ruang kelas: tidak diikutkan dalam proses belajar yang sama, tidak diberikan modul atau pendekatan khusus, bahkan seringkali menjadi korban stigma dan pengucilan sosial dari teman sebayanya.
Fasilitas sekolah yang ramah disabilitas seperti jalur kursi roda, toilet khusus, alat bantu belajar visual atau sensorik, dan ruang terapi hampir tidak tersedia di sebagian besar sekolah negeri. Sekalipun ada, banyak yang tidak terpelihara dan tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa semangat inklusivitas kita masih bersifat simbolik. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Dalam sila kedua, yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” terkandung makna bahwa setiap individu harus diperlakukan dengan martabat dan empati.
Menolak atau mengabaikan kebutuhan anak difabel dalam pendidikan adalah bentuk ketidakadilan yang mencederai prinsip kemanusiaan. Sementara itu, sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menuntut kita untuk tidak memberikan perlakuan yang seragam kepada mereka yang tidak memiliki kemampuan atau kondisi yang sama.
Keadilan dalam konteks ini bukan tentang menyamaratakan, tetapi menyesuaikan pelayanan dengan kebutuhan setiap individu agar hasilnya setara.
Ketimpangan layanan pendidikan ini juga mencederai prinsip “Persatuan Indonesia”, karena menciptakan pemisahan sosial berdasarkan kemampuan fisik atau mental. Anak-anak difabel yang terus-menerus dipinggirkan dari sistem pendidikan akan kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dan berkontribusi sebagai bagian dari masyarakat.
Mereka akan merasa berbeda dan tertinggal, bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena sistem yang gagal merangkul.
Solusi untuk mengatasi persoalan ini bukanlah sesuatu yang utopis. Justru solusinya bersumber dari nilai-nilai gotong royong, kemanusiaan, dan keadilan sosial sebagaimana diajarkan oleh Pancasila. Pertama, pelatihan bagi tenaga pendidik tentang pendidikan inklusif harus dijadikan program wajib, bukan pilihan.
Pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek harus menjalin kerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) agar materi pendidikan inklusif diintegrasikan secara sistematis dalam kurikulum pendidikan guru. Tidak cukup hanya memberikan workshop sesekali, tetapi perlu program sertifikasi dan magang praktik langsung di sekolah inklusif.
Kedua, pemerintah daerah perlu melakukan audit inklusivitas secara berkala untuk menilai kesesuaian antara klaim dan praktik sekolah. Dalam audit tersebut, indikator yang dinilai tidak hanya jumlah siswa difabel, tetapi juga ketersediaan guru pendamping, alat bantu belajar, metode pembelajaran yang fleksibel, dan keterlibatan keluarga dalam proses pendidikan.
Ketiga, sekolah-sekolah yang benar-benar menerapkan inklusi secara nyata perlu diberikan insentif dan bantuan teknis tambahan. Ini bisa berupa dana operasional khusus, pelatihan berjenjang, bantuan alat bantu belajar, serta prioritas dalam pengangkatan guru pendamping khusus (GPK). Pemerintah juga bisa membentuk unit layanan pendidikan inklusif di tingkat kabupaten/kota untuk memberi dukungan langsung bagi sekolah, orang tua, dan siswa.
Keempat, kurikulum dan penilaian belajar juga harus disesuaikan dengan kemampuan dan cara belajar peserta didik difabel. Saat ini, banyak siswa difabel yang tertekan karena harus mengikuti ujian atau pembelajaran berbasis kognitif standar, padahal mereka memiliki kecerdasan di bidang lain seperti visual, kinestetik, atau sosial. Kurikulum yang fleksibel bukan berarti menurunkan kualitas, tetapi menyesuaikan metode agar hasilnya setara.
Selain solusi struktural, kita juga harus menumbuhkan budaya sekolah yang ramah dan sadar inklusi. Ini mencakup edukasi kepada siswa non-difabel agar mereka memahami bahwa teman-teman difabel bukanlah beban, melainkan bagian integral dari lingkungan belajar.
Toleransi, empati, dan gotong royong yang diajarkan dalam Pancasila seharusnya tidak hanya menjadi hafalan, tetapi nilai yang hidup dalam setiap interaksi di sekolah.
Jika kebijakan-kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh dan konsisten, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pelopor pendidikan inklusif di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara seperti Finlandia dan Selandia Baru telah membuktikan bahwa sistem inklusif dapat meningkatkan partisipasi sosial, kebahagiaan belajar, dan keterlibatan keluarga dalam pendidikan.
Data UNESCO tahun 2023 menunjukkan bahwa negara dengan sistem pendidikan inklusif yang kuat cenderung memiliki masyarakat yang lebih toleran dan produktif secara ekonomi.
Mewujudkan pendidikan yang inklusif sejatinya adalah implementasi nyata dari Pancasila dalam dunia pendidikan. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi yang begitu cepat, kita tidak boleh melupakan nilai dasar kemanusiaan. Sekolah inklusif bukanlah bentuk belas kasihan terhadap anak difabel, melainkan pengakuan terhadap hak mereka sebagai warga negara yang setara.
Karena sejatinya, sebuah bangsa tidak dinilai dari seberapa banyak gedung sekolah yang dibangun, tetapi dari seberapa banyak hati yang dibuka untuk menerima perbedaan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News