Kasus penahanan ijazah yang terjadi di beberapa daerah seperti Malang dan Surabaya sepanjang tahun 2025 semakin mempertegas bahwa praktik ini tidak bersifat insidental, melainkan telah berlangsung secara berulang dan sistematis.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang secara tegas melarang penahanan ijazah, kecuali dalam keadaan tertentu yang dapat dibenarkan secara hukum serta didasarkan pada kesepakatan yang sah.
Selain itu, pemerintah bersama DPR RI diharapkan turut mendorong pembentukan regulasi yang lebih rinci, guna menjamin perlindungan hak-hak pekerja dalam hubungan kerja yang adil dan bermartabat.
Urgensi pembahasan terkait penahanan ijazah terletak pada posisinya yang bersinggungan langsung dengan dua hak dasar dalam sistem hukum Indonesia, yaitu hak atas kepemilikan dan hak memperoleh pekerjaan yang layak.
Praktik ini tidak hanya berpotensi menimbulkan sengketa keperdataan, tetapi juga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, yang pada akhirnya membatasi kebebasan seseorang dalam menentukan masa depan dan mobilitas sosialnya.
Oleh karena itu, diperlukan kajian yang komprehensif melalui pendekatan hukum perdata dan hak asasi manusia. Ini untuk merumuskan solusi hukum yang adil dan berorientasi pada perlindungan individu.
Fenomena yang Terjadi
Fenomena penahanan ijazah oleh institusi maupun perusahaan semakin banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Tindakan tersebut dinilai menghambat kebebasan individu untuk berkembang secara profesional. Khususnya dalam mengakses peluang kerja yang lebih baik. Ijazah sebagai dokumen akademik sejatinya merupakan hak pribadi yang tidak patut dijadikan alat tekan dalam relasi non-pendidikan.
Langkah Humanis Dunia Pendidikan, SMAN 1 Terusan Nunyai Antar Ijazah Gratis ke Rumah Alumni
Asep Sumaryana, pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, menegaskan bahwa penggunaan ijazah di luar fungsi akademiknya berpotensi menyimpang secara moral dan hukum.
Pandangan serupa dikemukakan oleh Prof. M. Hadi Shubhan dari Universitas Airlangga. Ia menilai bahwa praktik tersebut melanggar hak atas kebebasan bekerja sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Perlu ada pemahaman bersama bahwa penahanan ijazah merupakan bentuk pembatasan hak yang tidak dapat dibenarkan secara etik maupun yuridis.
Perspektif Hukum Perdata
Dalam perspektif hukum perdata, ijazah merupakan bagian dari hak milik individu yang bersifat eksklusif, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ia menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan barang bergerak yang berada dalam penguasaannya.
Tindakan penahanan ijazah oleh lembaga, baik lembaga pendidikan maupun korporasi, tanpa dasar hukum yang sah, pada dasarnya dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Prof. Subekti, yang menyatakan bahwa setiap tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain dan tidak memiliki dasar hukum pembenar merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat digugat secara perdata.
Di sisi lain, Mahkamah Agung dalam beberapa putusan telah menegaskan bahwa penahanan dokumen pribadi tanpa dasar hukum yang sah dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran hak keperdataan dan dapat digugat untuk dikembalikan disertai ganti kerugian.
Pendekatan hukum perdata terhadap penahanan ijazah haruslah mengedepankan perlindungan terhadap hak milik pribadi dan menjunjung prinsip keadilan dalam relasi hukum antara individu dengan lembaga.
Tidak Lagi Tulis Tangan, Kemendikdasmen akan Terapkan Ijazah Elektronik: Sekolah Bisa Cetak Sendiri
Praktik yang tidak seimbang ini harus segera ditertibkan melalui regulasi yang lebih tegas dan penegakan hukum yang berpihak kepada korban. Dengan demikian, supremasi hukum tidak hanya menjadi slogan, melainkan benar-benar hadir dalam praktik kehidupan sosial.
Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam perspektif hak asasi manusia, praktik penahanan ijazah merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak fundamental setiap individu untuk memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak.
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak atas kepastian hukum yang adil serta kebebasan setiap orang untuk memilih dan mendapatkan pekerjaan.
Tindakan menahan ijazah secara langsung menghambat realisasi hak-hak tersebut. Sebab, ijazah merupakan dokumen penting yang lazimnya disyaratkan dalam proses perekrutan kerja maupun melanjutkan pendidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik tersebut bukan hanya insidental, tetapi bersifat sistemik dan memerlukan perhatian khusus dari negara dan masyarakat sipil. Komnas HAM secara resmi merekomendasikan agar pemerintah menerbitkan regulasi khusus yang melarang penahanan ijazah dalam konteks hubungan kerja maupun pendidikan, sebagai bentuk jaminan non-diskriminasi terhadap hak sosial.
Dari sudut pandang HAM, penahanan ijazah sejatinya merupakan bentuk perampasan hak atas martabat dan masa depan, yang bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum Indonesia maupun tatanan hukum internasional.
Mencari Titik Temu Dalam Upaya Mewujudkan Keadilan
Dalam menghadapi sengketa administratif antara individu dan institusi, penahanan ijazah seharusnya tidak dijadikan opsi utama. Sebagai gantinya, lembaga pendidikan maupun pemberi kerja dianjurkan menempuh jalur hukum perdata, mediasi, atau pendekatan persuasif yang menghormati hak-hak dasar individu.
Mekanisme penyelesaian seperti pengiriman surat peringatan, penyusunan skema cicilan, atau gugatan perdata bersifat lebih konstitusional dan sejalan dengan asas keadilan.
Oleh karena itu, penyelesaian yang adil dan bermartabat justru akan memperkuat reputasi institusi di mata publik serta membangun relasi jangka panjang yang saling menghargai. Semangat penyelesaian secara damai dan berkeadilan perlu didorong melalui narasi jurnalistik yang solutif, edukatif, dan membangkitkan empati sosial.
Dalam konteks ini, media dan akademisi memiliki peran penting untuk mendorong terciptanya budaya hukum yang tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga melindungi martabat manusia.
Menjaga Martabat, Menegakkan Hukum
Sudah saatnya kita tidak lagi memandang ijazah semata sebagai lembaran administratif, melainkan sebagai representasi dari hak dasar atas pendidikan dan masa depan yang bermartabat.
Menahan ijazah sama halnya dengan menginterupsi hak seseorang untuk berkembang secara sosial dan ekonomi. Penegakan hukum dalam konteks ini seharusnya tidak berhenti pada prosedur. Namun, menyentuh substansi keadilan, yakni penghormatan terhadap hak hidup yang layak.
Tahan Ijazah di Indonesia, Sejauh Mana Pemerintah Bisa Intervensi?
Dalam masyarakat yang menjunjung hukum, setiap aturan harus diimbangi dengan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Tanggung jawab untuk menghentikan praktik penahanan ijazah bukan hanya terletak pada negara, tetapi juga pada kesadaran kolektif lembaga dan masyarakat.
Masyarakat yang adil dan beradab hanya bisa terwujud bila hukum tidak hanya ditegakkan dengan kekuasaan, tetapi juga dijalankan dengan nurani dan empati.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News