Di sebuah negara kecil bernama Suriname, ribuan orang keturunan Jawa hidup, tumbuh, dan menjaga budaya leluhurnya dengan penuh cinta. Mereka adalah bagian dari sejarah panjang migrasi paksa yang terjadi pada era kolonial Belanda.
Meski tak lagi berpijak di tanah Jawa, semangat dan rasa bangga yang mereka warisi dalam tradisi dan adat tetap mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah Awal: Dari Pulau Jawa ke Suriname
Pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1890-an, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Suriname sebagai tenaga kerja kontrak. Tujuannya adalah untuk menggantikan buruh-buruh Afrika yang sebelumnya bekerja di perkebunan tebu, kopi, dan kakao.
Mereka datang dengan harapan bisa memperbaiki nasib, namun kenyataannya tak sedikit dari mereka yang justru terjebak dalam sistem kerja yang keras, penuh tekanan, dan tak memungkinkan untuk kembali ke tanah air.
Meski demikian, dari sejarah yang penuh luka inilah lahir komunitas baru: masyarakat Jawa-Suriname, yang kini menjadi salah satu kelompok etnis penting di negara tersebut.
Baca Juga: Asal-Usul Suriname, Negara Pengguna Bahasa Jawa di Benua Amerika
Menjaga Identitas di Negeri Asing
Migrasi bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga soal bertahan sebagai diri sendiri di tempat baru. Itulah yang dilakukan oleh komunitas Jawa di Suriname.
Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil di daerah seperti Paramaribo dan Commewijne, tepatnya Tamanredjo. Disana dapat ditemukan banyak rumah panggung yang mengingatkan pada arsitektur Jawa, makanan yang masih bercita rasa nusantara, hingga kebiasaan sosial seperti gotong royong, menjadi bagian dari keseharian mereka.
Anak-anak mereka dibesarkan dalam dua dunia: dunia modern ala Suriname, dan satu lagi dunia tradisi Jawa yang diwariskan secara lisan, melalui cerita, upacara, dan bahasa.
Tradisi yang Tetap Hidup
Salah satu hal paling luar biasa dari komunitas Jawa-Suriname adalah bagaimana mereka tetap menjalankan tradisi yang bahkan di tanah asalnya sendiri sudah mulai dilupakan. Upacara selametan, kenduri, dan mitoni masih dilaksanakan sebagai bagian dari penghormatan terhadap leluhur dan penanda fase hidup.
Tak hanya itu, gamelan masih dimainkan, kebaya masih dikenakan saat acara penting, dan batik masih digunakan sebagai simbol kebanggaan. Bahkan mereka memiliki batik khas Suriname, sebuah perpaduan motif lokal dan Jawa.
Di Paramaribo, ibu kota Suriname, komunitas seni Jawa seperti grup tari tradisional, sanggar gamelan, dan pelatihan bahasa Jawa tetap aktif sampai hari ini.
Bahasa Jawa yang Bertahan
Salah satu pilar penting dalam menjaga identitas budaya adalah bahasa. Di tengah dominasi bahasa Belanda dan Sranan Tongo (bahasa Suriname), suku Jawa tetap mempertahankan bahasa ibunya.
Walaupun telah bercampur dengan pengaruh lokal dan mengalami perubahan struktur, bahasa Jawa tetap digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di lingkungan keluarga dan komunitas.
Anak-anak masih diajarkan kata-kata seperti “mangan” (makan), “turon” (tidur), “opo kabar” (apa kabar), dan mereka bangga bisa berkata: “Aku iki wong Jowo”. Bahasa bukan hanya alat komunikasi bagi mereka, tetapi juga jembatan penghubung dengan identitas dan sejarah.
Baca Juga: Bukan Suriname, Negara Ini Juga Punya Warga Keturunan Jawa yang Bisa Berbahasa Jawa
Hubungan Emosional dengan Indonesia
Meski kebanyakan dari mereka belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia, tanah leluhur tetap punya tempat istimewa di hati. Banyak dari mereka menyimpan harapan untuk suatu hari bisa pulang, menjejakkan kaki di tanah yang selama ini hanya hidup dalam cerita dan kenangan para orang tua.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paramaribo aktif menjalin hubungan budaya, seperti menyelenggarakan kursus batik, pelatihan gamelan, dan pelajaran bahasa Indonesia dan Jawa. Bahkan beberapa generasi muda Suriname-Jawa kini kuliah di Indonesia melalui beasiswa.
Bagi mereka, Indonesia bukan sekadar negara. Indonesia adalah bagian dari identitas, meski hanya hidup dalam nama, bahasa, dan tradisi.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Seperti halnya komunitas diaspora lainnya, generasi muda Jawa di Suriname menghadapi tantangan besar dalam menjaga budaya di tengah modernisasi dan globalisasi.
Tidak semua anak muda tertarik untuk belajar gamelan atau ikut dalam upacara adat. Beberapa sudah lebih fasih berbahasa Belanda ketimbang bahasa Jawa.
Namun, harapan tetap ada. Banyak organisasi budaya yang aktif melibatkan anak muda dalam kegiatan seni dan tradisi. Media sosial, YouTube, dan platform digital lainnya kini digunakan sebagai media untuk menyebarkan pengetahuan tentang budaya Jawa kepada generasi muda.
Dengan dukungan pemerintah Indonesia dan komunitas internasional, pelestarian budaya Jawa di Suriname diharapkan bisa terus berjalan, bahkan berkembang menjadi aset diplomasi budaya yang penting.
Mengapa Kisah Ini Penting Diketahui?
Kisah suku Jawa di Suriname bukan hanya cerita tentang diaspora, tetapi tentang daya tahan budaya, kekuatan identitas, dan bagaimana manusia mampu membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Di saat banyak budaya lokal di Indonesia sendiri mulai tergerus modernitas, komunitas kecil di seberang lautan ini justru membuktikan bahwa budaya bisa bertahan bahkan di negeri asing.
Kisah ini adalah cermin bagi kita semua tentang pentingnya mengenali, mencintai, dan menjaga warisan budaya sebelum benar-benar hilang.
Meski terpisah oleh lautan, waktu, dan sejarah, suku Jawa di Suriname tetap menjadi bagian dari kita. Mereka adalah potongan jiwa Jawa yang hidup di tanah asing. Mereka bukan sekadar diaspora, mereka adalah pengingat bahwa budaya tak pernah mengenal batas geografis.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News