jika semua bisa disensor apa lagi yang bisa dibicarakan - News | Good News From Indonesia 2025

Jika Semua Bisa Disensor, Apa Lagi yang Bisa Dibicarakan?

Jika Semua Bisa Disensor, Apa Lagi yang Bisa Dibicarakan?
images info

Bayangkan sebuah masa depan ketika kritik terhadap pemerintah atau elite publik tak lagi bisa didengar secara bebas. Bukan karena rakyat tidak peduli, melainkan karena ruang untuk berbicara telah dipersempit.

Masa depan itu kini tampak mengintip lewat Pasal 50B dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran 2025. Jika pasal ini disahkan tanpa koreksi, maka Indonesia tengah melangkah perlahan tapi pasti menuju era pengawasan digital tanpa batas.

Pasal 50B bukan hanya sekadar tambahan pasal teknis. Ia semacam “palu sensor” yang diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyaring isi siaran digital dan media sosial atas dasar norma, moralitas, dan kepentingan publik.

Masalahnya, ketiga konsep itu terlalu lentur dan subyektif. Apa yang dimaknai sebagai “bertentangan dengan norma” bisa berbeda-beda tergantung siapa yang berkuasa.

Apa Isi Pasal 50B?

Pasal 50B dalam rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran menyatakan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat melakukan pengawasan terhadap konten siaran digital, termasuk platform seperti YouTube, podcast, dan media sosial. Konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma, nilai masyarakat, atau kepentingan publik dapat dikenai sanksi.

Media Sosial: Sumber Informasi Utama bagi Generasi Z

Sekilas, ketentuan ini tampak seperti bentuk pengaturan etika penyiaran. Namun bila dicermati lebih dalam, ketentuan ini justru membuka jalan pintas menuju penyensoran sistemik, terutama karena batasan istilah seperti “norma” dan “kepentingan publik” tidak dijelaskan secara jelas dalam rancangan pasal tersebut.

Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers (2024), pasal ini sangat problematik dan berpotensi besar membatasi kebebasan berekspresi serta kebebasan pers. LBH Pers dan AJI Jakarta bahkan menyebut bahwa revisi UU Penyiaran ini bisa membawa masa depan jurnalisme Indonesia ke dalam “masa kegelapan.”

Artinya, jika pasal ini diberlakukan, maka ruang bagi jurnalis dan konten kritis akan semakin sempit, sementara alat kontrol negara terhadap wacana publik justru diperluas.

Mengapa Ini Ancaman Serius?

Pasal ini muncul di tengah kondisi kebebasan sipil yang terus menyempit. Menurut Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2024, SAFEnet menerima 1.902 aduan sepanjang tahun 2024 yang mencakup isu akses internet, kebebasan berekspresi, keamanan digital, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO)

Dalam banyak kasus, pasal karet seperti UU ITE digunakan untuk menjerat warganet. Jika kini Pasal 50B diberlakukan, maka alat represi itu makin lengkap: pra-sensor dilakukan tanpa proses hukum.

Tidak perlu laporan polisi, tidak perlu sidang, cukup penilaian sepihak dari KPI bahwa sebuah konten melanggar norma.

Komnas HAM bahkan menyatakan keprihatinan bahwa “RUU Penyiaran berpotensi melanggar hak masyarakat untuk mengakses informasi dan menyampaikan pendapat secara bebas, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28F.”

Yang lebih ironis, dalam penjelasan rancangan RUU ini, tidak ada kejelasan bagaimana mekanisme sanggahan jika konten seseorang diblokir atau dihapus. Siapa yang akan menilai keberatan warga?

Apakah ada jalur banding independen? Atau justru kita menyerahkan semua kontrol ke satu lembaga non-yudisial?

Dampak Nyata terhadap Demokrasi

Laporan KIC (14 November 2023) menyatakan 80,4 % responden berusia 17–42 tahun mengaku mendapatkan informasi politik dari akun media sosial berita daring. Ini adalah angka dominan, jauh melampaui media cetak atau televisi konvensional.

Artinya, ruang diskusi digital adalah tulang punggung demokrasi era kini. Jika ruang ini disensor, maka rakyat tidak bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi yang beragam.

Demokrasi tidak hanya butuh pemilu lima tahunan. Ia butuh ruang diskusi yang terbuka dan jujur setiap hari. Ketika suara minoritas, suara kritis, dan suara alternatif dibungkam dengan alasan “tidak sesuai norma,” maka kita sedang menciptakan sistem politik yang satu arah yaitu hanya ada satu narasi yang boleh hidup.

Demokrasi Tidak Butuh Filter Semena-mena

Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan untuk bersuara, termasuk hak untuk mengkritik. Demokrasi bukan berarti semua suara harus nyaman untuk didengar. Justru, suara yang paling kritis dan berbeda itulah yang memperkaya diskusi publik.

Dalam teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, ruang publik harus terbuka untuk semua argumen, termasuk yang menantang status quo.

Sayangnya, Pasal 50B berisiko menciptakan atmosfer “diam karena takut.” Bayangkan konten YouTube yang membahas dugaan korupsi, atau podcast yang menyoroti peran aparat dalam pelanggaran HAM, bisa dihapus hanya karena dianggap menyinggung norma. Bukankah ini membatasi jurnalisme warga yang selama ini jadi sumber alternatif informasi?

Menjaga Pola Hidup Mahasiswa: Pentingnya Sarapan, Olahraga, dan Pengaturan Media Sosial

Lebih mengkhawatirkan, sensor ini bisa dilakukan pra tayang yang artinya, konten bisa dilarang sebelum publik melihatnya. Ini adalah bentuk penyensoran preventif, yang bertentangan dengan prinsip due process dalam demokrasi.

Tanpa pengadilan, siapa yang menjamin objektivitas KPI? Dan jika KPI keliru, bagaimana publik bisa melawan?

Ruang Kritik Harus Dilindungi

RUU Penyiaran idealnya disusun untuk meningkatkan kualitas siaran dan memperkuat tanggung jawab media. Namun, jika dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas pers, hasilnya adalah regulasi yang represif.

Solusinya bukan membungkam konten, tapi mengedukasi publik agar cerdas dalam menyaring informasi. Alih-alih memaksa kontrol dari atas, mengapa tidak memperkuat literasi media dari bawah?

DPR harus menunda pengesahan RUU ini dan membuka ruang dialog publik yang lebih luas. KPI juga perlu direformasi agar lebih transparan dan akuntabel dalam menjalankan fungsinya. Pasal-pasal kabur seperti 50B harus dihapus atau dirumuskan ulang dengan batasan yuridis yang jelas.

Dalam demokrasi, sensor bukan solusi. Justru suara yang keras, berbeda, bahkan tidak populer, harus diberi ruang selama tidak melanggar hukum. Revisi UU Penyiaran seharusnya menjamin keberagaman suara, bukan memaksa keseragaman dalam diam.

Jika kita membiarkan pasal-pasal seperti ini lolos begitu saja, kita sedang membangun demokrasi di atas pondasi yang retak. Ketika kritik dibungkam, maka satu-satunya yang tersisa adalah kesunyian. Namun, kesunyian yang dipaksakan sehingga pada akhirnya akan meledak juga.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.