Kawan GNFI, tantangan dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional mendorong perlunya inovasi berbasis komoditas lokal. Salah satu bahan pangan yang cukup melimpah dan potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah jagung.
Selama ini, jagung dikenal sebagai sumber karbohidrat yang kerap diolah menjadi nasi jagung, pakan ternak, maupun produk makanan ringan.
Namun, kini jagung mulai diarahkan menjadi bahan dasar produk olahan mie, khususnya mie kering, yang dikenal luas dan digemari berbagai kalangan masyarakat.
Kendala Produksi Mie Berbasis Jagung
Meski menjanjikan, pembuatan mie dari tepung jagung bukan tanpa kendala. Tidak seperti tepung terigu, tepung jagung tidak mengandung gluten, yaitu protein yang memberi elastisitas dan kekenyalan pada adonan.
Akibatnya, mie yang dihasilkan dari tepung jagung cenderung mudah patah, kurang kenyal, lengket pada permukaan, dan menghasilkan cooking loss yang tinggi saat dimasak.
Untuk menjawab permasalahan ini, diperlukan metode modifikasi tepung yang dapat memperbaiki karakteristik fisiknya tanpa mengurangi kandungan gizinya. Salah satu pendekatan yang kini mulai banyak diteliti dan diterapkan adalah teknologi Heat Moisture Treatment (HMT).
Apa Itu Teknologi Heat Moisture Treatment (HMT)?
Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan metode modifikasi fisik tepung yang dilakukan dengan memanaskan tepung pada kadar air terbatas, yaitu sekitar 10–30%, pada suhu tinggi antara 100–120°C.
Proses ini dilakukan tanpa penambahan bahan kimia apa pun, sehingga menjadikannya sebagai alternatif yang aman, sehat, dan ramah lingkungan.
Mencicipi Bubur Barobbo dari Sulawesi Selatan, Dulunya Dimasak saat Musim Panen Jagung Tiba
Selama proses HMT, struktur pati dalam tepung jagung mengalami perubahan. Granula pati menjadi lebih padat dan tersusun rapat, yang membuatnya lebih tahan terhadap suhu tinggi dan gangguan mekanis.
Hal ini secara langsung berdampak pada peningkatan mutu adonan mie, baik dari segi tekstur, elastisitas, maupun daya tahan saat dimasak.
Keunggulan Mie Kering Jagung Hasil HMT
Penerapan teknologi HMT memberikan sejumlah keunggulan nyata yang menjadikan mie kering jagung sebagai pilihan pangan alternatif yang berkualitas, di antaranya:
Peningkatan Tekstur dan Elastisitas
Proses HMT membuat struktur pati lebih stabil dan padat, sehingga mie yang dihasilkan tidak mudah patah dan memiliki daya regang yang lebih baik. Ini menjawab tantangan utama pada mie berbasis tepung non-gluten.
Stabilitas terhadap Suhu Tinggi
Mie kering hasil HMT menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi saat direbus. Tidak mudah lembek atau hancur, teksturnya tetap utuh dan menarik saat disajikan.
Lebih Disukai Konsumen
Berdasarkan uji hedonik atau penilaian sensorik oleh panelis, mie jagung hasil HMT, khususnya dengan kadar air 24–27% dan proses retrogradasi selama 24 jam, lebih disukai dari segi tekstur dan rasa.
Tanpa Bahan Kimia
Teknologi HMT hanya menggunakan perlakuan suhu dan kelembaban, tanpa bahan aditif sintetis, sehingga lebih aman dikonsumsi oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dan penderita alergi gluten.
Meningkatkan Nilai Tambah Jagung Lokal
Pemanfaatan jagung varietas lokal seperti Pioneer 21 menjadi mie berkualitas tinggi membuka peluang ekonomi baru. Ini tidak hanya mendorong produksi pangan lokal, tetapi juga mendukung kesejahteraan petani jagung.
Proses Produksi Mie
Proses produksi dimulai dari pemilihan jagung berkualitas yang kemudian digiling menggunakan hammer mill untuk mendapatkan grits. Grits tersebut dibersihkan, dikeringkan, dan digiling ulang menjadi tepung halus.
Tepung ini lalu dimodifikasi dengan HMT menggunakan kadar air tertentu dan dipanaskan dalam oven pada suhu 110°C selama dua jam.
Menuju Swasembada Pangan Indonesia, Satu Juta Hektare Lahan Jagung Baru Bakal Dibuka
Setelah proses pemanasan, tepung didinginkan dan disimpan dalam suhu dingin (4°C) selama 24–48 jam untuk memungkinkan terjadinya retrogradasi, yaitu proses pengkristalan kembali molekul pati yang meningkatkan kestabilannya. Setelah dikeringkan kembali, tepung digunakan sebagai bahan dasar adonan mie.
Adonan mie dibuat dengan campuran 70% tepung jagung, air dengan tambahan 1% garam, serta guar gum sebagai bahan pengikat alami.
Adonan ini kemudian dikukus, dicetak menjadi untaian mie, dan dikeringkan pada suhu 60°C selama 70 menit. Produk akhir berupa mie kering jagung disimpan dalam kemasan plastik HDPE agar kualitasnya tetap terjaga.
Tantangan dan Potensi
Meski menjanjikan, teknologi HMT juga memiliki beberapa kekurangan. Perlakuan panas dapat menyebabkanpenurunan daya serap air dan kelarutan, sehingga mie menjadi lebih keras dan kurang kenyal dibandingkan mie berbasis terigu.
Namun, hal ini dapat diatasi dengan optimalisasi kadar air, penambahan bahan alami seperti serat pangan, atau penggabungan teknologi lain dalam proses produksi.
Peluang pengembangan produk ini terbuka sangat luas, terutama dalam industri pangan sehat dan gluten-free. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, mie jagung hasil HMT dapat menjadi alternatif bagi penderita celiac, konsumen vegan, maupun mereka yang mencari pangan lokal bernutrisi tinggi.
Kawan GNFI, inovasi mie kering jagung dengan penerapan teknologi HMT membuktikan bahwa pangan lokal mampu bersaing dari segi kualitas dan kebermanfaatan. Teknologi ini tidak hanya menyelesaikan tantangan teknis dalam pengolahan mie non-gluten, tetapi juga menghadirkan solusi sehat dan berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia.
Dengan terus mendorong riset dan hilirisasi produk berbasis jagung lokal, kita dapat membuka peluang ekonomi baru sekaligus memperkuat kemandirian pangan nasional. Sudah saatnya pangan lokal bukan hanya menjadi alternatif, tetapi pilihan utama yang membanggakan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News