Era tahun 1950-an, tren musik Indonesia berkiblat pada negara Barat, khususnya Amerka dan Inggris. Jenis musik Rock ‘n Roll dianggap Soekarno, presiden kala itu sebagai musik ngak-ngik-ngok yang dinilai berpengaruh buruk pada masyarakat Indonesia, bertentangan dengan spirit revolusi yang digaungkan semasa Demokrasi Terpimpin.
Melalui Manifesto Politik yang ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1959, musik Barat secara resmi dilarang beredar di Indonesia. Soekarno menganggap musik dan kebudayaan Barat menjadi praktik imperalisme dan kolonialisme pada Indonesia. Pengaruh Barat ke Indonesia dalam bentuk apapun, termasuk musik dibabat habis.
“Musik Indonesia harus mencerminkan kepribadian Indonesia. Menjadi bagian dari revolusi yang dapat membangkitkan jiwa dan semangat pemuda pemudi Indonesia,” tulis Ayu Pertiwi dalam artikel ilmiahnya, Larangan Soekarno terhadap Musik Barat Tahun 1959 – 1967.
Dara Puspita dengan referensi band idolanya Koes Bersaudara dan The Beatles, sudah barang tentu memiliki preferensi musik sealiran. Tak jauh-jauh dari idolanya yang bermain di genre pop, rock, Dara Puspita kerap membawakan musik beraliran soft rock, pop rock, dan hard rock.
Aliran musik rock yang lembut, sesekali keras melengking, hingga temoi musik yang keras dengan irama drum menghentak mengiringi lagu-lagu Dara Puspita yang mengangkat tema cinta, nasionalis, jenaka.
Ayu Pertiwi menuliskan dalam Tempo edisi 1 Januari 1972 halaman 37 yang bertajuk “Angka Berapa untuk Dara Puspita” menyebut Dara Puspita menjadi perintis band riot girl, grup musik yang seluruhnya beranggota perempuan dengan aliran musik rock yang gaduh.
“Ciri khas Dara Puspita yang diminati masyarakat era 1960-an yakni irama lagu menghentak keras dan semangat. Syair lagu sederhana dan mudah untuk dihafalkan oleh semua kalangan, mulai anak-anak, orang tua, kaya miskin, sampai tukang becak,” tulis Ayu Pertiwi.
Menghadapi peringatan keras pemerintah kepada musisi yang memainkan jenis musik ngak-ngik-ngok, grup musik era 1960-an mulai mencipta dan menyanyikan lagu sendiri, meski pengaruh asing tetap melekat pada karya mereka. Pertunjukan langsung digelar terbatas, tempat dan penontonnya. Momen juga menentukan, seperti hanya kala undangan hajatan.
Ayu Pertiwi menuliskan pada tahun 1964 melalui sidang presidium kabinet tertanggal 22 September, Soekarno bersama tim pemecah budaya Barat menghasilkan keputusan pemberian tindakan tegas bagi warga yang mendengar dan memainkan musik ngak-ngek-ngok.
Pemerintah dibantu kepolisian dan didukung pemuda dari Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) dan Pemuda Rakyat melakukan razia pada ratusan piringan hitam serta kaset The Beatles, Rolling Stones hingga The Shadows. Pedagang diperintah menyerahkan piringan hitam yang berisi musik ngak-ngik-ngok paling lambat 22 Juli 1965.
Dara Puspita dan Koes Bersaudara tak lepas dari incaran pemerintah kala itu. Juli 1965, Dara Puspita mengajak personil Koes Bersaudara menghadiri pesta ulang tahun saudaranya, Salanti Bersaudara di kawasan Palmerah. Mereka secara bergantian menyumbang lagu. Saat giliran Koes Bersuara, pintu pagar didobrak pemuda kampung, hansip dan polisi.
“Ganyang antek-antek Nekolim.... Ganyang kaki tangan imperialis Inggris dan Amerika....,” teriak para tamu tak diundang. Koes Bersaudaa yang kala itu sedang memegang alat musik, membawakan lagu The Beatles ditangkap lalu dipenjarakan di Glodok.
Usut punya usut, Koes Bersaudara telah diincar oleh anggota Lekra. Koes Bersaudara dipenjara 3 bulan lamanya, tanpa proses pengadilan.
“Koes Bersaudara dianggap meniru gaya The Beatles, kebarat-baratan. Mereka ditangkap, dipenjarakan, lagu mereka dilarang edar, album dalam piringan hitam dihancurkan,” tulis Ayu Pertiwi.
Dara Puspita yang tak didapati sedang memegang alat musik dibebankan wajib lapor selama tiga bulan. Aktivitas harian dilaporkan, show diawasi dan dilarang memainkan lagu The Beatles. Aksi panggung juga dibatasi, tak boleh berjoget.
Dara Puspita Manggung di Kancah Antarbangsa
Dara Puspita menggantikan show Koes Bersaudara di Bangkok, sebab anggota grup musik pendahulunya masih mendekam di jeruji besi. 1 Oktober 1965, pagi-pagi sekali Dara Puspita meninggalkan Jakarta. Menuju Bangkok dari Airport Kemayoran.
Tour ke Bangkok ini membuka jalan Dara Puspita manggung di kancah antarbangsa. Sepulang dari Bangkok pada 1966, Dara Puspita merekam album pertama melalui piringan hitam. Dengan rekaman piringan hitam, lagu-lagu Dara Puspita diharap bisa mengudara lebih luas, diputar di radio seantero negeri.
Sempat ditolak oleh studio rekaman ternama sebab standar kurang memenuhi dan diminta belajar kembali, kekecewaan inilah yang memicu Dara Puspita untuk mewujudkan asanya.
“Latihan demi Latihan mereka tempuh. Hingga tawaran rekaman datang dari Studio PT. Dimita Moulding Industries/Mesra Record. Perusahaan baru namun memiliki studio rekaman yang cukup besar pabrik percetakan piringan hitam sendiri,” tulis Handi.
Pertengahan Februari 1966, album pertama yang berjudul Jang Pertama mulai direkam. Bulan berikutnya album berisi 12 lagu ini terbit. Sejumlah 500 keping piringan hitam ludes dalam waktu seminggu. Cetak ulang per 2.500 keping dilakukan. Total, album Jang Pertama terjual 25.000 keping.
Perjanalan Dara Puspita melahirkan empat album rekaman hingga band mereka membubarkan diri, jua 3,5 tahun tour show ke berbagai negara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News