"Perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya akan berkutat di dapur, sumur, dan kasur." Pandangan seperti ini masih banyak dianut di sejumlah wilayah, terutama oleh kalangan yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional.
Ungkapan tersebut bukan lagi hal yang asing di telinga, sebab persepsi serupa telah mengakar kuat dalam benak sebagian masyarakat, khususnya generasi orang tua. Dalam sudut pandang tersebut, perempuan sering kali diposisikan hanya sebagai sosok yang menjalankan fungsi reproduksi melahirkan, menyusui, dan merawat keluarga serta bertanggung jawab atas pekerjaan domestik. .
Mengidentikkan perempuan semata-mata dengan urusan domestik merupakan bentuk penyederhanaan yang kurang tepat dan berisiko merendahkan peran serta martabat mereka. Padahal, perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, mengembangkan potensi diri, serta berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia kerja dan karier profesional.
Maka, yang menjadi pokok pembahasan kali ini adalah pertanyaan: bagaimana peran mahasiswa dalam mewujudkan kesetaraan agar perempuan dapat memenuhi hak-haknya secara utuh?
Sebagai generasi muda, bukankah sudah seharusnya kita lebih peka terhadap berbagai persoalan sosial, termasuk hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan kesempatan berkarier yang setara dengan laki-laki?
Manakala berbicara tentang kesetaraan gender, sejak tahap awal pembahasan pun sudah muncul permasalahan mendasar. Sebagian orang ada yang dengan tegas menganggap perempuan sebagai makhluk lemah yang aktivitasnya dibatasi oleh adat dan kebiasaan yang telah mengakar sejak lama. Tindakan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan sering kali terjadi.
Dalam banyak konteks, perempuan masih berada dalam posisi yang termarjinalkan, seolah-olah harus tunduk, dimanfaatkan, bahkan diperbudak oleh laki-laki. Mereka masih dianggap sebagai warga kelas dua (second-class citizens).
Salah satu bentuk kekerasan seksual yang paling dikenal masyarakat adalah pemerkosaan. (Perbuatan kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan, 2013).
Minimnya ketegasan dalam penegakan hukum turut menjadi faktor lemahnya penanganan terhadap kasus pelecehan seksual. Selain itu, upaya peningkatan kesadaran dan edukasi terkait kekerasan serta pelecehan seksual masih belum optimal.
Di Indonesia, dalam sistem budaya dan sosial yang berlaku, perempuan masih sering dipersepsikan dan ditempatkan semata-mata sebagai individu yang menjalankan fungsi reproduktif. Fungsi reproduksi pada perempuan memang merupakan sesuatu yang bersifat alamiah atau kodrati. (Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender,2020).
Selain itu, Perempuan hanya dianggap bertugas melayani suami dan mengurus anak. Perempuan kerap kali dicap sebagai sosok yang harus memikul seluruh tanggung jawab atas urusan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel, mencuci piring, menyetrika, hingga berbagai pekerjaan domestik lainnya dianggap sepenuhnya menjadi kewajiban perempuan.
Memang betul, pekerjaan rumah merupakan bagian dari kewajiban perempuan juga. Namun, permasalahan muncul ketika seolah-olah semua tanggung jawab dibebankan kepada perempuan, tanpa ada campur tangan laki-laki sama sekali. Padahal, ketika pernikahan terjadi, hakikatnya adalah hidup bersama, bukan sekadar tinggal bersama.
Hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan merupakan faktor yang selama ini membuat perempuan terpuruk dengan berbagai masalah yang terpelihara. Menurut Nurcholish Majid, non diskriminasi adalah persyaratan bagi adanya keadilan. (Keadilan menurut nurcholis madjid dan relevansinya di indonesia)
Sebab, sejatinya perempuan memiliki kemampuan, semangat, dan ketangguhan yang setara dengan laki-laki, asalkan mereka diberikan ruang yang setara untuk berkembang, berkarya, dan berdaya di tengah masyarakat.
Ketika perempuan diberi kesempatan yang adil, mereka akan mampu menunjukkan prestasi luar biasa di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kepemimpinan, ekonomi, hingga inovasi sosial.
Dalam sebuah talk show, Mbak Najwa Shihab pernah berkata:"Mengapa perempuan sering ditempatkan pada pilihan antara menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga, padahal mereka bisa menjalani keduanya secara bersamaan?" Pilihan ini mencerminkan adanya asumsi yang keliru, seolah-olah perempuan harus memilih salah satu peran dan tidak dapat menjalankan keduanya.
Kenyataannya, banyak perempuan mampu mengemban dua peran tersebut secara seimbang, seperti yang ditunjukkan oleh Mbak Najwa Shihab sendiri. Gerakan serta tuntutan terhadap keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan kini semakin meluas dan digaungkan di berbagai penjuru dunia.
Di Indonesia, perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender telah dimulai sejak masa R.A. Kartini, yang menjadi pelopor emansipasi perempuan. Melalui perjuangannya, perempuan Indonesia mulai memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. (Pemahaman emansipasi wanita, 2015).
Sebagai generasi muda, kita dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap berbagai problematika yang terjadi di lapangan, termasuk isu-isu sosial yang relevan. Mahasiswa, sebagai kelompok yang identik dengan sikap kritis dan analitis, memiliki peran penting dalam merespons permasalahan tersebut.
Oleh karena itu, sudah seharusnya mahasiswa menunjukkan kepedulian nyata terhadap berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Terdapat sejumlah langkah yang dapat diambil oleh mahasiswa dalam perannya menjunjung kesetaraan gender, diantaranya sebagai berikut:
Langkah awal yang dapat dilakukan sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki peran strategis dalam mendorong terciptanya kesetaraan gender di lingkungan kampus dan masyarakat luas.
Upaya ini dapat dimulai dengan meningkatkan literasi gender, yakni memperdalam pemahaman tentang isu-isu kesetaraan melalui bacaan, seminar, atau diskusi. Pengetahuan yang memadai akan membentuk kesadaran kritis terhadap ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan.
Kemudian langkah kedua dapat dilakukan dengan cara aktif mengikuti maupun menginisiasi kegiatan edukatif yang bertema kesetaraan gender, seperti kampanye, webinar, dan forum diskusi terbuka. Kegiatan semacam ini penting untuk memperluas kesadaran kolektif dan menumbuhkan semangat solidaritas antar sesama mahasiswa, tanpa memandang jenis kelamin.
Selanjutnya di lingkungan kampus, mahasiswa dapat turut menghapus stereotip gender dengan mendorong pembagian tugas yang adil dalam organisasi atau kerja kelompok, tanpa mengaitkannya dengan jenis kelamin.
Ketika menjumpai tindakan diskriminatif, mahasiswa sebaiknya tidak diam. Menyuarakan ketidakadilan melalui saluran resmi ataupun melalui media kampus adalah bentuk nyata dari kepedulian terhadap nilai-nilai kesetaraan.
Terakhir, mahasiswa dapat memperluas jangkauan gerak dengan bergabung atau berkolaborasi bersama komunitas dan lembaga yang fokus pada pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Melalui kolaborasi tersebut, mahasiswa bukan hanya memperkuat jaringan, tetapi juga memberi dampak lebih luas dalam memperjuangkan keadilan gender di berbagai lini kehidupan.
Sebagai kesimpulan, sudah saatnya kita berhenti melihat pemberdayaan perempuan sebagai slogan semata. Perempuan yang berdaya mampu membawa perubahan, bukan hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga untuk keluarga, komunitas, dan bangsanya.
Mahasiswa dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Jika bukan kita yang peduli dan berjuang untuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, lalu siapa lagi?
Mewujudkan kesetaraan gender bukanlah tugas satu pihak saja, melainkan tanggung jawab bersama demi menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Mari kita dukung, perjuangkan, dan banggakan kesetaraan gender agar hak-hak perempuan tidak terabaikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News