Pendidikan sering dianggap sebagai ukuran keberhasilan seseorang. Gelar akademik, status sosial, dan penguasaan ilmu pengetahuan kerap dihubungkan dengan kematangan, tanggung jawab, dan moralitas. Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Banyak orang berpendidikan tinggi yang justru mengalami krisis identitas, konflik batin, dan kegagalan menjalankan nilai-nilai moral.
Gambaran ini terlihat jelas dalam novelBelenggu karya Armijn Pane yang terbit pada 1940. Melalui tokoh Sukartono, Sukartini, dan Rohayah, novel ini menampilkan ironi kehidupan kaum terpelajar yang justru gagal membangun relasi pribadi dan sosial.
Sukartono, seorang dokter, tidak mampu memahami istrinya dan malah menjalin hubungan gelap demi memenuhi kebutuhan emosionalnya. Sukartini, perempuan mandiri dan cerdas, juga hidup dalam ketegangan rumah tangga.
Sementara Rohayah, mantan pelacur dan penyanyi, justru lebih peka terhadap kebutuhan psikologis Sukartono—meski pada akhirnya kembali memilih jalan hidup yang sama.
Kisah mereka mengajak kita mempertanyakan kembali makna pendidikan. Apakah pendidikan hanya soal gelar dan status? Atau seharusnya membentuk karakter dan moral yang utuh? Belenggu menjadi cermin bagi realitas kaum terpelajar yang kehilangan arah dan makna dalam hidupnya.
Meskipun mengangkat tema percintaan dan konflik rumah tangga, Belenggu lebih dari sekadar kisah tragis. Novel ini menyajikan kritik sosial tajam terhadap pandangan umum bahwa pendidikan tinggi pasti melahirkan moralitas.
Tokoh-tokohnya, dokter, aktivis, seniman digambarkan sebagai pribadi yang rapuh secara emosional dan etis. Melalui kisah ini, Armijn Pane membongkar ulang asumsi bahwa pendidikan selalu sejalan dengan kebijaksanaan dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, menarik untuk dibahas bagaimana pendidikan direpresentasikan dalam Belenggu bukan sebagai fondasi moral, tetapi justru sebagai lapisan status yang tidak menjamin kematangan pribadi.
“Dokter Sukartono memandang sepatunya. Dia tersenyum, lucu rasanya memandang-membayangkan Tini duduk bersimpuh dihadapannya sedang asyik meanggalkan sepatunya..... Tini pelalai di waktu belakang ini, sampai barang sulamnya ditaruhnya di meja itu.” Belenggu:17.
Dalam kutipan ini, Sukartono, seorang dokter yang berpendidikan tinggi, membayangkan istrinya, Sukartini, melepas sepatunya sepulang kerja. Ia tersenyum karena hal itu tidak lagi terjadi. Tini, yang kini sibuk dan mandiri, tidak lagi menunjukkan perhatian seperti dulu. Bahkan, barang sulamannya dibiarkan begitu saja di meja tanda bahwa ia tak lagi fokus pada peran domestik.
Situasi ini memperlihatkan bahwa meskipun kedua tokohnya terpelajar, mereka gagal menyelesaikan konflik rumah tangga secara dewasa. Alih-alih berdialog atau mencari solusi, Sukartono memilih melarikan diri ke pelukan perempuan lain demi memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Inilah ironi yang diangkat Belenggu: pendidikan tinggi tidak serta-merta menjadikan seseorang bermoral atau matang secara emosional. Armijn Pane menunjukkan bahwa gelar dan intelektualitas tak cukup jika tidak dibarengi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemampuan membangun relasi yang sehat.
“Yah datang hampir, duduk di pangkuan Tono” Belenggu:97.
Kutipan ini menunjukkan kedekatan fisik dan emosional antara Sukartono dan Rohayah. Rohayah duduk tanpa canggung di pangkuan Sukartono, menandakan bahwa hubungan mereka sudah melewati batas wajar, meski Sukartono masih berstatus suami orang.
Adegan ini mengungkap bahwa Sukartono, meskipun seorang dokter berpendidikan tinggi, gagal menjaga moral dan batasan dalam hidupnya. Ia memilih mencari kenyamanan emosional lewat hubungan terlarang, bukan menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan istrinya.
Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kematangan sikap dan moral. Belenggu mengingatkan kita bahwa pendidikan formal tidak menjamin akhlak yang baik.
Tokoh yang dihormati secara sosial bisa saja lemah dalam mengendalikan diri dan tanggung jawab. Lewat adegan ini, Armijn Pane mengajak pembaca menyadari kenyataan bahwa gelar dan status sosial tidak otomatis membuat seseorang lebih baik secara etis. Pendidikan bisa kehilangan makna jika tidak disertai nilai kemanusiaan.
“Memang Tini tidak senang mendengar kabar, Tona bergaul dengan perempuan lain. Didalam hatinya dia belum hendak mengaku, sebenarnya dia cemburu, karena orang lain mendapat kasih sayang Tono.” Belenggu: 136.
Kutipan ini menggambarkan pergulatan batin Sukartini saat mengetahui suaminya, Sukartono, dekat dengan perempuan lain. Meski secara lahiriah Tini terlihat tenang, dalam hatinya ia merasa cemburu dan terluka, namun enggan mengakuinya, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Tini adalah perempuan modern, berpendidikan, dan mandiri. Ia berusaha tampil kuat dan tidak bergantung secara emosional pada suami, bahkan memilih menyembunyikan perasaannya demi menjaga citra kemandirian. Namun, kutipan ini menunjukkan bahwa di balik intelektualitas dan kemandiriannya,
Tini tetap manusia biasa yang menyimpan rasa sakit.Hal ini menegaskan bahwa pendidikan tidak otomatis membuat seseorang kuat secara emosional atau mampu menghadapi konflik dengan terbuka. Meski berpendidikan dan berpikiran maju, Tini terjebak dalam citra perempuan rasional yang tidak boleh terlihat rapuh.
“Berkenalan! Aku datang bukan untuk berkenalan. Mana perempuan yang baik-baik, suka berkenalan denan perempuan seperti engkau?” Belenggu:138.
Kutipan ini justru memperkuat pesan utama novel Belenggu, yaitu bahwa pendidikan yang dimiliki tokoh-tokohnya tidak menghasilkan sikap bijak, empati, atau rasa keadilan sosial. Kalimat kasar tersebut bukan keluar dari orang yang “tidak berpendidikan,” melainkan dari sosok terpelajar yang tetap memegang pandangan sempit dan suka menghakimi orang lain.
Dengan demikian, Belenggu menegaskan ironi bahwa orang berpendidikan tinggi pun bisa bersikap dangkal dan menyakiti orang lain. Pendidikan yang mereka miliki lebih menjadi simbol status sosial daripada pijakan nilai moral yang sesungguhnya.
“Dokter perempuan rupanya. Apa hendaknya? Yah berdiri. Tini keluar mobil. “Inilah rupanya perempuan yang disukai Tono, “kata Tini dalam hatinya, sambil memandang perempuan itu dari atas ke bawah. Di dalam hati kecilnya dia mengaku perempuan ini molek cantik, dapat menarik hati segala laki-laki, sebenar-benarnya perempuan. Pemakaiannya rapi. Beginikah perempuan yang begitu?” Belenggu:130.
Kutipan ini memperkuat pesan bahwa pendidikan tokoh-tokohnya tidak menjamin terbentuknya kepercayaan diri, kematangan emosi, atau kesadaran sosial. Meskipun hidup dalam semangat emansipasi, Tini tetap menilai dirinya dan orang lain berdasarkan standar masyarakat patriarkal.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Belenggu bukan sekadar mengisahkan cinta yang rumit, tetapi juga menyampaikan kritik tajam terhadap dunia pendidikan. Gelar dan jabatan tidak selalu menjamin kualitas moral dan kematangan hati seseorang.
Pendidikan sejati seharusnya tidak hanya mengasah akal, tetapi juga menyentuh nurani.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News