Tak semua perempuan siap menghadapi kenyataan pahit dalam hidup, apalagi ketika kesalahan yang terjadi membawa akibat sebesar kehamilan di luar nikah.
Dalam masyarakat yang keras menghakimi dan menekan perempuan, banyak dari mereka yang memilih jalan singkat yaitu menggugurkan kandungan secara ilegal, membuang bayi yang dilahirkan, bahkan mengakhiri hidup sendiri karena merasa tak punya harapan.
tokoh Midah dalam novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer justru hadir sebagai sosok yang berani menanggung akibat dari kesalahan yang dilakukannya. Ia bukan tokoh yang sempurna, bahkan jalan hidupnya dianggap menyimpang dari norma. Namun justru dari ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang arti keberanian dan tanggung jawab.
Midah adalah seorang perempuan muda yang pernah menikah dengan Haji Terbus, lalu meninggalkan rumah karena tak tahan dengan tekanan keluarga dan pernikahan yang tak ia inginkan.
Ia hidup di jalan, di antara kelompok musik keroncong, hingga bertemu Ahmad seorang polisi yang kemudian meninggalkannya setelah mereka menjalin hubungan yang terlalu dalam.
Dari hubungan itulah Midah hamil untuk kedua kalinya. Dalam kondisi seperti itu, kebanyakan perempuan mungkin akan merasa hidupnya telah selesai. Namun, Midah memilih bertahan.
10 Tahun Ubud Food Festival, Rayakan Hidangan Tradisional Maluku dan Sunda
“Saya hanya ingin anak itu jangan sampai mati kelaparan…” (Pramoedya, hal. 93), katanya dengan keteguhan yang mencengangkan.
Midah tidak lari, tidak aborsi, tidak membunuh anaknya, dan tidak membunuh dirinya sendiri. Ia memilih hidup dengan membawa beban itu, sendirian, tanpa mengemis simpati, dan tetap menjalani hari-harinya.
Keputusan Midah ini sangat relevan dengan kenyataan sosial saat ini. Data dari BKKBN (2022) mencatat lebih dari satu juta kasus kehamilan tak diinginkan di Indonesia setiap tahunnya. Sebagian besar terjadi di luar nikah dan mayoritas menimpa perempuan usia muda.
Tekanan sosial, rasa takut, dan stigma menjadi alasan utama mengapa banyak dari mereka memilih jalan pintas yang tragis. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa ratusan perempuan muda mengalami gangguan psikologis berat akibat kehamilan tak terencana, dan beberapa bahkan mencoba bunuh diri.
Dalam dunia seperti ini, keberanian Midah menjadi pelajaran penting bahwa perempuan tetap bisa bertanggung jawab tanpa harus mengorbankan hidup atau nyawa orang lain.
Kisah Midah juga mengingatkan kita bahwa sistem sosial kita masih menyimpan ketimpangan dalam memperlakukan perempuan. Ketika pria melakukan kesalahan yang sama, sering kali ia dimaafkan, bahkan dilupakan.
Namun, bagi perempuan, kesalahan itu menjadi stempel seumur hidup. Dalam berbagai lapisan masyarakat, perempuan masih dituntut menjaga moralitas dan kehormatan keluarga. Sementara kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri kerap dibatasi oleh nilai-nilai patriarkal yang sudah mengakar.
Festival Sinema Australia Indonesia 2025: Merayakan Satu Dekade Kolaborasi Sinematik
Midah, dalam segala keterbatasannya, berhasil menunjukkan bahwa kekuatan perempuan bukan terletak pada kesempurnaan, tapi pada kemauan untuk terus melangkah walau dunia menekan.
Ia menjadi simbol bahwa perempuan bisa bertahan dalam luka, dan tetap mencintai kehidupan yang ada di dalam dirinya.
Ia mungkin fiksi, tapi kisahnya terasa nyata karena kita mengenal, atau bahkan pernah menjadi, perempuan seperti Midah.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun yang pernah gagal. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenung. Jika kamu atau seseorang di sekitarmu pernah berada di posisi sulit seperti Midah hamil tanpa pernikahan, takut pada orang tua, takut dicaci masyarakat, maka ingatlah bahwa Kawan GNFI tetap punya pilihan.
Kamu tetap bisa bertahan. Kamu tetap bisa menjadi perempuan yang kuat, berani, dan bertanggung jawab. Seperti Midah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News