Film Indonesia berjudul Home Sweet Loan menceritakan kisah Kaluna, seorang wanita yang digerakkan oleh karier yang bermimpi memiliki rumahnya sendiri. Namun, jalannya terus-menerus terhalang oleh beban keuangan untuk menghidupi keluarganya.
Saat saudara laki-lakinya jatuh ke dalam hutang dan rumah keluarga berisiko, Kaluna masuk sebagai tulang punggung keuangan, tetapi menerima sedikit apresiasi.
Konflik sentral ini memunculkan tema utama film ini: harapan tidak realistis yang ditempatkan pada perempuan baik di ruang pribadi maupun publik.
Film ini menyajikan kritik tajam terhadap peran gender dalam rumah tangga Indonesia modern. Kaluna terlihat membayar kebutuhan rumah tangga seperti listrik, tetapi dia masih diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah.
Deretan Film Animasi Indonesia yang Mendapat Penghargaan Internasional
Dalam adegan dapur yang menceritakan, Kaluna mempertanyakan mengapa saudara perempuannya Kamala tidak pernah mencuci piring, hanya untuk diberhentikan dengan alasan menjadi ibu.
Adegan ini dengan cerdik menyoroti bagaimana peran tradisional masih mendominasi. Bahkan, dalam keluarga yang seharusnya progresif pria dibebaskan dari tugas rumah tangga. Di sisi lain, wanita diharapkan untuk melakukan segalanya, terlepas dari status karier mereka.
Keinginan Kaluna akan kemandirian finansial juga menjadi medan pertempuran antara tradisi dan modernitas. Dalam percakapan kafe dengan temannya Danan, dia menyatakan, "Aku nggak mau selamanya bergantung sama keluarga atau nanti sama suami."
Ini lebih dari sekadar tujuan pribadi, ini adalah pemberontakan terhadap norma budaya bahwa perempuan harus bergantung pada sosok laki-laki.
Namun, kemerdekaannya tidak dirayakan. Sebaliknya, itu menyebabkan gesekan dalam keluarganya, menunjukkan bagaimana masyarakat masih memandang wanita ambisius dengan kecurigaan atau rasa bersalah.
Film ini juga menyidik jauh ke dalam perjuangan kelas sosial, terutama posisi kelas menengah yang rapuh. Kaluna dan teman-temannya tampak sukses, mereka memiliki pekerjaan, tinggal di kota, dan berbicara tentang investasi.
Namun, ketika mereka berkumpul di sekitar brosur real estat, kebenaran terungkap: penghasilan mereka hampir tidak menutupi pembayaran hipotek bulanan.
Unjuk Sinema, Indonesia Hadirkan Paviliun di Cannes Film Festival 2025
Kalimat "Gaji kita cuma cukup buat bayar cicilan" dengan menyakitkan menggambarkan bagaimana impian kepemilikan rumah menjadi jebakan keuangan daripada simbol kesuksesan.
Contoh kuat dari penilaian berbasis kelas terjadi ketika ibu pacar Kalona mengkritik mobil lamanya dan secara halus mengejeknya karena tidak meningkatkan. Ketika Kaluna menjelaskan bahwa dia menabung untuk sebuah rumah, tanggapannya diremehkan dengan, "Emang nggak malu? Model Katanya."
Interaksi ini bukan hanya tentang status, ini tentang bagaimana perspektif kelas atas sering meremehkan prioritas kelas pekerja. Film tersebut menggunakan momen-momen seperti itu untuk menunjukkan bagaimana rasa hormat masih terikat pada kekayaan dan citra, bukan usaha atau nilai.
Sepanjang film, Kaluna menjadi simbol perempuan Indonesia modern, mandiri, kuat, tetapi terpojok secara emosional oleh kewajiban keluarga dan penilaian masyarakat. Perjuangannya bukan hanya untuk membeli rumah, tetapi untuk mendapatkan hak untuk membuat keputusan hidupnya sendiri.
Film ini tidak menawarkan solusi yang mudah tetapi malah mengekspos bagaimana impian pribadi sering dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tekanan masyarakat. Ini adalah penggambaran ketahanan yang diam-diam revolusioner.
Kesimpulannya, Home Sweet Loan adalah drama sadar sosial yang menggunakan konflik pribadi untuk mengekspos ketidaksetaraan sistemik.
Karya ini mempertanyakan peran gender yang ketinggalan zaman, ilusi stabilitas kelas menengah, dan eksploitasi diam-diam perempuan dalam keluarga mereka sendiri.
Dengan mengikuti perjalanan Kaluna, kita diingatkan bahwa kemandirian bukan hanya tentang uang,ini tentang membebaskan diri dari harapan. Dalam mengejar impiannya akan sebuah rumah, sosok Kaluna menunjukkan kepada kita bahwa pinjaman sebenarnya yang kita bawa mungkin adalah hutang emosional terhadap nilai-nilai masyarakat yang sudah ketinggalan zaman.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News