Banyak orang tentu sudah tahu Museum Bahari. Museum tertua kedua di Indonesia setelah Museum Wayang, disini menyimpan koleksi maritim dan menyimpan narasi peranannya di perkembangan Indonesia. Jika berbicara tentang koleksinya, tentu bukan rahasia lagi kalau di tempat ini menyimpan banyak perahu dari beberapa zaman, artefak, dan alat navigasi laut.
Tetapi mungkin banyak yang belum mengetahui bagaimana cerita berdirinya museum ini. Dari yang awalnya kawasan rawa-rawa hingga dijadikan gudang VOC, ada sebuah cerita panjang yang tidak banyak diketahui khalayak luas.
Menjawab hal tersebut Dinas Kebudayaan Jakarta dan Museum Bahari berkolaborasi dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur, Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, Pusat Konservasi Cagar Budaya, dan IHH Creative Hub mengadakan sebuah pameran temporer dengan tajuk “Membangun Di Lahan Basah: Dari Gudang Barat Hingga Museum Bahari 1652-1977”.
Pameran Membangun Di Lahan Basah
Berlangsung dari 6 Desember 2024 — 22 Juni 2025, adalah bentuk presentasi hasil dokumentasi serta riset panjang sejarah arsitektur bangunan dan kawasan Museum Bahari yang melibatkan 4 seniman (Ariel Rachman, Bagasworo, Hauritsa, Yasmin Tri Aryani) dan puluhan mahasiswa Program Profesi Arsitektur Universitas Indonesia TA 2023/2024.
Pameran ini terbagi menjadi 4 bagian yang koleksinya banyak dari fotografi hitam putih yang dicetak di kain putih besar, cetak biru dan peta persebaran tempat terkait, gambar ilustrasi, serta beberapa artefak kuno yang tiap bagiannya juga dilengkapi dengan teks narasi terkait objek utamanya.
Perubahan dari Rawa Menjadi Kawasan Perdagangan
Pada bagian utama, pengunjung akan melihat arsip litografi, lukisan, dan kisah pembentukan daratan pesisir utara Jakarta dengan judul narasi “Di Permukaan Laut”. Bagian ini mengambil referensi dari kajian geologi yang disusun oleh Herman Theodoor Verstappen dan sebuah narasi singkat yang diambil dari buku yang ditulis Restu Gunawan pada 2010 dengan judul Gagalnya Sistem Kanal yang mengutip tentang penelitian di daerah hulu sungai di Ommelanden.
Tak hanya narasi dan foto, di panel pertama ini terdapat gambaran peta tentang tiga belas anak sungai di Jakarta kala itu yang dilukiskan di salah satu tembok.
Perdagangan Rempah dan Gudang VOC
Barulah di panel kedua, pengunjung akan melihat narasi tentang pembangunan benteng VOC di akhir abad ke-16 lengkap dengan cerita dari pembangunan, kondisi kawasan pesisir Batavia saat itu. Selain lewat teks, narasi di panel ini diceritakan lewat lukisan-lukisan karya orang Belanda kala itu. Di panel ini juga terdapat arsip peta rancangan yang dibuat oleh Claudius Anthony van Luepken pada 1764 berdasarkan kondisi 1762.
Namun, selain bercerita tentang perkembangan benteng VOC, panel ini fokus bercerita tentang bagaimana ekosistem perdagangan rempah kala itu. Di sini pengunjung dapat melihat replika karung dan keranjang yang berisi rempah, poster komersial dari rempah yang sudah dijadikan produk hingga peta persebaran rempah kala itu. Makanya judul panel kedua ini adalah “Rempah-Rempah dan Infrastruktur Hidrokolonial”.
Tentang Pembangunan di Lahan Basah Jakarta
Di bagian ketiga, dengan judul narasi “Gudang dan Kota di Lahan Basah”, pengunjung akan diajak melihat beberapa maket dan artefak dari bangunan-bangunan disaat masih menjadi gudang VOC yang narasinya bercerita tentang bagaimana ekosistem perdagangan dari pelabuhan hingga ke gudang lengkap dengan foto-foto pesisir Jakarta kala itu dan bagaimana suasana pada gudang-gudang VOC yang ada di wilayah tersebut.
Awal Dibangunnya Museum Bahari
Barulah di bagian terakhir pameran narasi akan bercerita tentang “Menjadi Museum Bahari” yang menampilkan narasi tentang perubahan bangunan dari pasca kemerdekaan hingga tahun 1970-an baik berupa teks dan tulisan.
Di sini juga ada video dokumenter singkat karya Bagasworo yang judulnya merangkai ingatan Bahari. Ceritanya tentang dampak langsung yang dirasakan warga kampung Akuarium terkait perubahan di kawasan utara. Dari pengembangan Museum Bahari hingga revitalisasi pasar ikan dan pasar hexagon.
Berkawan di Kota Tua: Berkeliling Sambil Belajar Bersama Kawan GNFI Jabodetabek
Pameran temporer ini bisa dikunjungi setiap hari Selasa hingga Minggu sesuai jam operasional Museum Bahari, biaya masuknya Rp10.000,- di hari biasa dan Rp15.000,- di akhir pekan. Tempatnya persis setelah loket pembelian tiket masuk.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News