Kian gencar masyarakat berbagi pengalaman di media sosial, kian ramai pula berbagai campaign digaungkan. Salah satu yang ramai adalah postingan terkait ajakan literasi.
Walaupun toko buku dikabarkan kian sepi peminat bahkan ada yang sampai gulung tikar, tapi pegiat buku dan literasi terus bermunculan. Biasanya mereka hadir dalam forum diskusi literasi, baik dalam lingkaran kecil maupun besar.
Hari Buku Nasional rasanya menjadi waktu yang pas untuk kembali mengukur diri akan seberapa besar kecintaan kita terhadap literasi. Sibuknya arus teknologi juga menghadirkan tandingan lain bagi esensi literasi.
Bijaknya, tantangan itu haruslah dikawal dengan sikap dan tindakan yang mencerminkan hasil dari literasi itu sendiri, yakni dengan menumbuhkan literasi yang bermakna dan berwibawa.
Peningkatan Literasi dan Makna Literat
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) merilis data peningkatan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) nasional tahun 2024 meraih skor hingga 73,52. Angka menakjubkan yang bahkan melampaui target awal yakni 71,4 dan hasil tahun lalu yang berada di 69,42. Sungguh peningkatan yang cukup signifikan di tengah lonjakan konsumsi screen time.
Cahyo Satria Akui Kemasan Penting dalam Menerbitkan Buku
Bercampur suka dan duka, kabar baik ini sayangnya sepaket dengan kabar buruk. Meningkatnya minat baca tidak serta merta menjamin kualitas literasi yang membaik.
Ane Permatasari, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berpendapat bahwa individu baru pantas dikatakan literat ketika dampak dari membaca informasi memberikannya pemahaman yang tepat dan mampu bertindak berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini utamanya adalah reformasi pendidikan yang berkualitas serta berkelanjutan.
Namun, tulisan ini tidak membahas sisi tersebut. Sisi lain yang juga harus disoroti dari peningkatan literasi adalah permasalahan serius akan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Sebuah ironi, eskalasi literasi searah dengan pertumbuhan pembajakan karya, lebih khusus lagi pembajakan buku.
Pesta Diskon dan Industri Pembajakan Karya Tulis
Persentase pembajakan buku yang dirilis Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di tahun 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 54,2 % buku terbitan ilegal dijual di marketplace, 25% pelanggaran hak cipta berupa PDF buku secara gratis, dan 20,8% sisanya berupa penjualan format buku digital bajakan di marketplace.
Ancaman ini jika tidak ditanggapi dengan serius kedepannya akan terus menggerogoti ekosistem literasi dan industri perbukuan.
Jeritan di Balik Sebuah Karya
Seperti hujan yang tak kunjung mereda, situasi ini juga dapat dilihat dari pesta diskon buku. Dengan bantuan media sosial, tak sedikit industri penerbitan yang rajin menginformasikan bazar buku dengan potongan besar-besaran.
Di balik keramahan potongan harga, sejati ini dilakukan sebagai bagian dari mekanisme industri dalam meminimalkan rugi. Di saat inilah judul-judul yang telah lama memenuhi gudang lantaran sepi peminat memiliki kembali harapannya untuk bertemu para pembaca.
Kemudian, penawaran harga yang lebih murah seakan ditujukan untuk menarik minat lebih terhadap karya orisinal yang ada. Semacam strategi pengalihan agar pembaca berpaling dari para pembajak karya.
Kalaulah industri penerbitan sudah porak-poranda seperti sekarang, karya buku berkualitas otomatis akan terus terdegradasi. Walau nampak sekedar hasil dari rangkaian kata, lahirnya sebuah karya tulis tak semudah yang terbayang.
Di balik prosesnya, tercurah waktu dan tenaga yang mencerminkan dedikasi yang sepatutnya harus dihargai. Bagaimana bisa muncul karya tulis yang berkualitas dari juru tulis yang masih diusik dengan saling sikut harga para perampok karya?
Berpulang pada Esensi Literasi
Mendukung karya orisinal dan memboikot produk bajakan menjadi bagian dari penjagaan eksistensi akan literasi itu sendiri. Penulis buku dan industri penerbitan juga manusia. Ide, inovasi, dan karya tak lahir kemarin sore. Semua itu lahir dari sebuah proses berjibaku dan hasil renungan yang berharga.
Maka, sudah selayaknya penulis buku dan industri penerbitan mendapat jaminan kelayakan, baik dalam berkarya maupun keberlanjutan hidupnya. Literasi itu harus menjadikan kita peduli. Keputusan membeli karya orisinal tak hanya berarti menghargai dan mengapresiasi.
Namun, jauh lebih dalam, menghargai karya merupakan bentuk penghormatan terhadap ilmu itu sendiri.
Literasi lahir dari sebuah kesadaran. Hari Buku Nasional harusnya tak terhenti sebatas seremonial berburu diskon di bazar. Lebih dari itu, mari kita rayakan literasi dengan tegap berwibawa. Literasi yang hadir dari kejujuran terhadap ilmu itu sendiri, dari simpati dan empati, dari penghargaan dan saling menghargai.
Tentu kita bersama senantiasa menanti karya menakjubkan lainnya. Mari, saling bersinergi menjaga jendela ilmu ini. Bagi yang masih setia dengan versi buku bajakan, mari bertanya bersama: apakah benar begitu ekspresi cinta pada ilmu?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News