Afold in time atau lipatan waktu adalah sebuah ungkapan yang biasa muncul dalam puisi, ungkapan, frasa, dan metafora. Ada yang mengartikan sebuah cerita yang dipadatkan, ada juga yang mengartikan sebagai lapisan memori.
Berbeda dengan sebuah pameran seni di ISA Art Gallery, Jakarta. Ungkapan idiomatik a fold in time dipahami sebagai momen penting dalam waktu.
Pameran ini menyampaikan makna tersebut dengan menunjukkan bagaimana momen-momen penting saling bertemu dan terwujud melalui seni. Jika di Gajah Gallery, pengunjung disajikan dengan kolaborasi seniman lokal karena diajak untuk bereksplorasi karya-karya seniman perempuan dari negara Asia.
Berlangsung dari tanggal 15 April 2025 — 20 Juni 2025, ini merupakan kolaborasi 3 galeri seni kontemporer beda negara yang berpusat di Asia Tenggara– MONO8 (Manila), ISA Art Gallery (Jakarta), dan Richard Koh Fine Art (Singapura/Bangkok).
Ada 12 seniman dari berbagai negara, termasuk di antaranya ada Ines Katamso, Luh Gede Gita Sangita Yasa. dan Sinta Tantra.
Selain ketiga seniman asal Bali tersebut, beberapa seniman asing yang terlibat:
- Goldie Poblador, Eunice Sanchez, Jill Paz, Kelli Maeshiro dan Rose Cameron dari Filipina
- Aimi Kaiya dari Thailand
- Liu Hsin Ying dari Taiwan
Dialog tentang Waktu
Dikutip dari pengantarnya, pameran ini mempertemukan para seniman yang berasal dari berbagai praktik seni untuk saling berdialog, dan di setiap persimpangan berbagai masalah (dan kontradiksi) yang dihadapi para seniman yang berpartisipasi dalam karya-karya mereka.
Seperti salah satunya melalui karya serinya yang berjudul 'Terraphytic Narrative 4'. Ines Katamso merenungkan potensi sains dan seni dalam membentuk bumi yang lebih baik dan layak huni. Berfokus pada elemen-elemen alam yang menopang kehidupan—entitas mikroskopis organik adalah objeknya.
Karya Luh’De Gita yang Terinspirasi Budaya
Karya lainn yang tidak kalah menarik adalah 2 lukisan dari Luh Gede Gita Sangita Yasa atau yang biasa disapa Luh’De Gita. Ia melukis di atas linen yang digantung. Melalui Liep-Liep Lipi Gadang dan Sang Hyang Dedari dirinya terinspirasi dari kepercayaan dan budaya di Nusantara.
Lipi gadang (mitos Minangkabau) dan Sang hyang dedari (tarian ritual Bali). Bukan hanya sekadar bentuk restorasi atau pelestarian. Jika dimaknai lebih dalam, keduanya menyiratkan makna tentang waktu.
Berbeda dengan dua sebelumnya, Sinta Tantra bernarasi lewat karyanya yang menggunakan medium tempera dan daun emas. Lewat karyanya yang berjudul ‘Burning with a Bright, Fierce Flame’ dan ‘Let us always have great dreams’, dirinya mengeksplorasi teknik Wall-mounted Installation. Sebuah seni dua dimensi yang dibuat menjadi tiga dimensi atau emboss.
Pengalaman 3 Seniman Bali
Berbicara tentang perjalanan seninya, ketiga seniman asal Bali ini bisa dibilang sudah memiliki banyak pengalaman terlibat dalam pameran di luar negeri.
- Tahun lalu di 2024, Luh’De Gita menjadi salah satu seniman yang terlibat dalam ASYAAF (Asian Students and Young Artists Festival), National Theater Company of Korea di Seoul.
- Ines Katamso yang belum lama ini terlibat dalam salah satu pameran seni ternama, Biennale di Lyon pada 2024
- Sinta Tantra yang sudah berkelana di beberapa pameran seni dunia. Dari Singapura, Thailand, USA hingga Biennale Kroasia.
Kolaborasi 8 Seniman Perempuan di Pameran Renjana Rencana Wacana Bencana
Perubahan dari satu bentuk seni ke bentuk lain itu rumit karena berkaitan dengan kehidupan pribadi dan bersama, di mana masa lalu, sekarang, dan masa depan yang saling terkait.
Tema pelestarian ini merupakan rencana utama yang perhatikan oleh para seniman dalam praktik mereka sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News