merawat jiwa di tengah riuh kota - News | Good News From Indonesia 2025

Merawat Jiwa di Tengah Riuh Kota

Merawat Jiwa di Tengah Riuh Kota
images info

Pernahkah kamu merasa asing di tengah keramaian? Di antara ratusan wajah yang lalu lalang di stasiun, di lampu merah, atau di selisih jalan yang kehilangan senyumnya. Ada keheningan yang merayap, menjerat sesak dada tanpa permisi.

Kota besar, dengan segala gegap gempitanya, sering kali hadir dalam bentuk rumit. Di sini, mimpi-mimpi berdesakan tanpa sempat bernapas, ambisi-ambisi bersilang tanpa sempat saling menyapa. Yang tersisa hanya detak waktu yang memukul lebih keras dari jam dinding tua yang tak pernah selesai itu.

Di bawah banyaknya gedung tinggi yang melangit, semua terasa bergegas lebih cepat, hingga lupa bahwa hati manusia tidak diciptakan untuk perpindahan tanpa henti. Di balik silau kaca kantor-kantor mewah dan apartemen megah, depresi bersembunyi dalam senyum tipis, dalam "tidak apa-apa" yang dilontarkan tanpa sungguh-sungguh.

Kemudian perlahan, kota yang katanya penuh dengan mimpi dan peluang itu, kini mulai terasa seperti labirin tanpa pintu keluar.

Mengenal Depresi dan Bagaimana Mengelola Kestabilan Keadaan Psikologis Secara Mandiri

​Memang, wilayah perkotaan cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi depresi di Indonesia mencapai 1,4% pada penduduk usia 15 tahun ke atas.

Provinsi Jawa Barat mencatat angka tertinggi dengan prevalensi 3,3%, diikuti oleh Kalimantan Timur (2,2%), Banten dan Sulawesi Selatan (masing-masing 1,7%), serta DKI Jakarta (1,5%). 

Sementara itu, kota besar lainnya seperti Surabaya dan Bandung termasuk dalam provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, dengan prevalensi masing-masing 1,7% dan 3,3%.

Data tersebut menunjukkan bahwa depresi di kota besar mungkin berkaitan dengan tingginya tekanan hidup, persaingan sosial, dan kurangnya ruang hijau yang berkontribusi pada kesehatan mental masyarakat. 

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, terdapat dua kasus tindakan fatal akibat gangguan kesehatan mental; depresi kembali mengingatkan kita akan gentingnya isu kesehatan mental di lingkungan kerja dan pendidikan.

Di Konawe, Sulawesi Tenggara, seorang pria berusia 33 tahun ditemukan kehilangan nyawa; diduga mengalami depresi berat akibat penyakit TBC yang dideritanya sejak 2022, yang tak kunjung sembuh dan memperparah kondisi mentalnya.

Sementara itu, di Malang, Jawa Timur, seorang mahasiswa berusia 24 tahun nekat mengakhiri hidupnya, setelah mengalami tekanan psikologis akibat skripsi yang tak kunjung selesai meski telah memasuki semester kesembilan.

Kedua peristiwa tragis ini mencerminkan betapa pentingnya kepekaan terhadap tanda-tanda depresi. Perlu juga sistem dukungan yang kuat di keluarga, kampus, dan tempat kerja agar penderita tidak merasa sendirian dalam menghadapi tekanan hidup.

Lonjakan angka depresi tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Kehidupan yang serba cepat, target yang terus meningkat, hingga minimnya ruang interaksi emosional yang sehat, semuanya menjadi beban mental kolektif yang kian memburuk.

Depresi, Stigma yang Membayanginya dan Cara Pencegahan

Depresi bukan hanya sekadar perasaan sedih sementara. Seseorang yang mengalami depresi biasanya menunjukkan gejala seperti kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, kelelahan, perasaan tidak berharga, dan kesulitan berkonsentrasi.

Dalam kasus lain, depresi dapat memicu pikiran seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Sayangnya, stigma sosial dan kurangnya pemahaman sering kali membuat seseorang enggan mencari bantuan profesional.

Depresi juga turut berkontribusi menimbulkan dampak serius pada kesehatan fisik. Penderita depresi sering mengalami gangguan pada sistem pencernaan, seperti sakit perut, sembelit, atau sindrom iritasi usus besar, akibat perubahan nafsu makan dan pola makan yang tidak teratur.

Secara neurologis, depresi dapat menyebabkan penyusutan pada bagian otak seperti hipokampus dan korteks prefrontal. Ini berperan dalam memori dan pengambilan keputusan. Selain itu, hiperaktivitas amigdala mengatur emosi, sehingga berdampak pada pola tidur dan aktivitas sehari-hari.

Jangan Salah Kaprah! Ini Perbedaan Stres, Cemas, dan Depresi yang Perlu Kamu Tahu

Kondisi ini juga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner, karena pelepasan hormon stres yang berlebihan. Imunitas tubuh pun melemah, membuat penderita lebih rentan terhadap infeksi. 

Namun, depresi bukan tak bisa dicegah. Ada berbagai langkah sederhana, tetapi bermakna yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental di tengah tekanan kota besar. Misalnya dengan mulai menjaga pola hidup sehat, mengelola stres dengan teknik relaksasi, membangun jaringan sosial yang suportif, serta menyediakan waktu untuk beristirahat dan beraktivitas yang mindful.

Selain itu, penting untuk kita harus belajar memberi ruang bagi diri sendiri bahwa tidak apa jika segalanya tak selalu sempurna, karena walau dalam ketidaksempurnaan, kita tetap berharga.

Bantuan Profesional untuk Atasi Depresi

Bila seseorang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda depresi, penting untuk segera mengambil langkah. Mencari bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater adalah bentuk keberanian, bukan kelemahan. Dukungan dari keluarga dan teman juga berperan besar.

Mendengarkan tanpa menghakimi, menawarkan bantuan, dan mendampingi proses penyembuhan bisa menjadi penopang penting.

Masyarakat perlu menghapus stigma bahwa mencari bantuan kesehatan mental adalah sesuatu yang memalukan. Justru, mengakui dan mengatasi masalah sejak dini adalah bentuk kecintaan tertinggi pada diri sendiri.

Peran Pemerintah dalam Mengurangi Angka Depresi

Di tengah angka depresi yang terus merangkak naik, di mana sebenarnya peran pemerintah? Saat warga terjebak dalam tekanan hidup yang makin berat, akses kesehatan mental masih menjadi sebuah kemewahan, bukan kebutuhan dasar.

Bukankah melindungi seluruh aspek kehidupan rakyat, termasuk kesehatan jiwa, sudah menjadi bagian dari tugas pemerintah? Sayangnya, perhatian terhadap isu ini masih setengah hati, seolah-olah urusan mental bukan prioritas. 

Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada penyediaan layanan kesehatan mental yang mudah diakses dan terjangkau, tetapi juga aktif dalam upaya pencegahan melalui edukasi publik, kampanye kesadaran kesehatan mental, serta membangun lingkungan kota yang lebih ramah terhadap kesehatan jiwa, seperti memperbanyak ruang hijau dan fasilitas rekreasi.

Selain itu, regulasi terkait kesehatan mental di lingkungan kerja, pendidikan yang berorientasi pada kesejahteraan mental, dan penguatan jaringan layanan konseling di sekolah maupun tempat kerja perlu diperluas.

Meningkatnya Anxiety dan Depresi di Kalangan Mahasiswa Baru

Dengan pendekatan yang menyeluruh, seharusnya pemerintah dapat menjadi motor utama dalam memutus siklus depresi dan gangguan jiwa yang terus membayangi kehidupan urban modern.

Harapan akan masa depan kota-kota besar di Indonesia yang lebih sehat secara mental bukanlah mimpi semata. Ia adalah impian yang bisa kita wujudkan bersama, selangkah demi selangkah, dengan komitmen untuk saling menjaga.

Bayangkan jika sebuah kota di mana gedung-gedung tinggi tidak lagi menahan air mata warganya, tetapi membiarkan tawa dan harapan yang mengalir bebas.

Di mana sebuah perjalanan tidak hanya dipenuhi kendaraan yang tergesa, tetapi juga manusia-manusia yang berjalan dengan tenang, membawa damai di dalam hati mereka.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa cepat kita berlari yang menentukan kualitas hidup, melainkan seberapa dalam kita mampu merasa dan saling menguatkan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.