Indonesia, rumah bagi ribuan spesies tumbuhan unik, menghadapi tantangan besar dalam konservasi.
Asep Hidayat, Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, menegaskan bahwa konservasi keanekaragaman hayati memerlukan pendekatan berbasis sains dan kearifan lokal.
Dalam Jamming Session Seri 1 Tahun 2025, ia menjelaskan bahwa meskipun dampak kajian ilmiah tidak instan, riset yang tepat dapat membawa perubahan besar.
"Konservasi bukan hanya tentang melindungi, tapi juga mengelola sumber daya hayati secara berkelanjutan," kata Asep, dikutip dari brin.go.id. Tantangan seperti deforestasi, alih fungsi lahan, dan perubahan iklim mempertegas pentingnya kolaborasi berbasis data ilmiah.
Ancaman Kepunahan dan Data yang Mengkhawatirkan
Tukirin Partomihardjo dari Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI) memaparkan fakta mengejutkan, sebanyak 21,4 persen tumbuhan Indonesia terancam punah dengan hanya 13 persennya yang masuk dalam daftar perlindungan pemerintah.
"Konservasi harus mencakup perlindungan habitat, pengelolaan berkelanjutan, dan restorasi lahan terdegradasi," tegasnya. Tanpa aksi terpadu, banyak spesies khas Indonesia—seperti Nepenthes dan tumbuhan bernilai ekonomi—akan semakin sulit diselamatkan.
Potensi Ekonomi dan Tantangan Perdagangan
Muhammad Mansur, peneliti BRIN, mengungkap bahwa dari 39 spesies Nepenthes di Sumatra, 33 di antaranya endemik, dan beberapa masuk kategori Critically Endangered.
Sementara itu, Tika Dewi Atikah menyoroti tumbuhan bernilai ekonomi tinggi seperti gaharu (Aquilaria sp.) dengan potensi biomassa 600,5 kg per hektar, serta akar laka (Dalbergia parviflora), yang menjadi sumber penghidupan masyarakat Kalimantan Tengah.
Perdagangan ilegal tetap menjadi ancaman, sehingga diperlukan kebijakan berbasis data untuk menyeimbangkan konservasi dan pemanfaatan.
Baca juga Memupuk Harapan Konservasi dari Laporan Status Burung Indonesia 2025
Agroforestri: Solusi Berkelanjutan di Kawasan IKN
Joeni S. Rahajoe, peneliti BRIN, menemukan bahwa masyarakat di sekitar Ibu Kota Nusantara (IKN) menerapkan sistem agroforestri yang menggabungkan tanaman lokal (58,7% asli Kalimantan), spesies bernilai ekonomi (seperti durian kutejensis), serta tanaman langka dari Daftar Merah IUCN.
Pendekatan ini tidak hanya mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi juga menyimpan 33,28 Mg C/ha, berkontribusi pada mitigasi iklim.
Kolaborasi sebagai Kunci Keberhasilan
Asep Hidayat menekankan bahwa masa depan keanekaragaman hayati Indonesia bergantung pada riset berbasis lapangan dan laboratorium, keterlibatan masyarakat lokal, serta kebijakan yang mendukung konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan.
Dengan pendekatan terpadu, Indonesia dapat melestarikan kekayaan alamnya sekaligus memanfaatkannya secara bijak untuk generasi mendatang.
Baca juga Perjuangan Konservasi dalam Menyelamatkan Kukang Jawa dari Kepunahan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News