Tak hanya sekadar melakukan kesurupan sebagai pertunjukan, ternyata bantengan memiliki filosofi yang mendalam dan sudah diwariskan sejak zaman dulu. Bantengan yang kerap dikenal sebagai mberot di zaman sekarang, ternyata bukan baru-baru ini dibentuk.
Melansir dari film dokumenter “Bantengan yang Tak Lekang Oleh Zaman,” Agus Riyanto sebagai ketua dari Komunitas Bantengan Nuswantara menyatakan, bahwa bantengan sudah ada semenjak zaman Kerajaan Kanjuruhan. Bantengan digambarkan sebagai kesenian asal Jawa Timur yang didalamnya terdapat penggabungan antara sendratari, musik, dan syair.
Pertunjukan bantengan umumnya dilakukan pada malam hari. Peran utama berupa kerangka mirip banteng dengan dibalut kain hitam yang dimainkan dengan 2 orang secara kompak. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng berbentuk kepala bantengan terbuat dari kayu atau bahkan beberapa ada yang masih menggunakan tanduk asli.
Tak hanya banteng, pertunjukan ini juga memvisualisasikan beberapa hewan seperti macan dan kera. Musik yang megiringi pertunjukan bantengan kebanyakan masih menggunakan alat-alat tradisional seperti gamelan, gong, dan angklung.
Bantengan memiliki makna mendalam, apalagi soal kehidupan. Kesenian yang diperkirakan sudah ada sejak relief Candi Jago ini, secara umum memang digunakan sebagai hiburan.
Namun, ternyata makna di dalamnya ialah sebagai penggambaran untuk melawan keburukan. Sosok karakter kera sebagai tokoh pengganggu, merupakan bentuk penggambaran dari sifat pelit dan licik dalam diri manusia. Kera selalu menjadi provokator dan mengambil kesempatan dalam kesempitan, apabila banteng dan macan bertarung.
Banteng selalu memenangkan permainan walaupun macan menggunakan cara culas dengan membawa rombongan untuk menyerang banteng. Hal ini, menyiratkan bahwa kejujuran akan selalu menang, walau harus menghadapi rintangan dan cara culas tidak akan bisa menang sampai kapanpun.
Bukan hanya secara alur pertunjukan, ternyata dalam penggambaran bentuk dari kerangka bantengan, menyimpan arti mendalam. Pada tanduk banteng yang melambangkan permohonan pada Sang Maha Kuasa, kepala banteng yang manandakan wujud pengendalian diri dari berbagai keangkaran dunia, seperti yang masuk dalam pribadi manusia, klontengan yang digambarkan sebagai wujud kehati-hatian, keranjang sebagai simbol yang selalu menimbang sebab akibat setiap perbuatan, kain berwarna hitam yang melambangkan kehidupan penuh misteri, dan gongseng kaki merupakan wujud dari usaha manusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Terlihat sangat filosofis, bukan? atau masih dilihat sebagai mistis?
Seiring dengan bekembangnya zaman, batengan mengalami beberapa perubahan tetapi tetap tidak jauh berbeda dari yang sudah diwariskan. Perbedaan terdapat pada musik dan ketukan kendang.
Mengenai unsur kalap dan iramanya secara konsep umum masih tetap sama. Unsur kalap yang melekat pada bantengan modern, sering membuat filosofis dalam bantengan tertutupi. Kalap atau kerasukan sendiri, memang budaya nusantara yang awalnya dimaksudkan untuk menyindir para penjajah, sebagai bentuk penggambaran Indonesia adalah Negara yang kuat dan gagah.
Mengawali era modern, kalap mulai dimasukkan sebagai pemanis dan dimaksudkan sebagai bentuk pelestarian dari peninggalan budaya nusantara. Pertunjukan bantengan pada malam hari pun, seringkali menambah aura mencekam atau kesan mistis.
Mistis yang ada dalam bantengan, bukan hanya sekedar unsur yang ditautkan begitu saja. Segala unsur yang terdapat dalam bantengan, memiliki makna tersirat di dalamnya. Makna mendalaman bantengan, mengisyaratkan budaya nusantara yang indah, diiringi dengan beragam tradisi dan kebudayaaan filosofis tersembunyi.
Oleh karena itu, pemaknaan tidak bisa hanya dilakukan berdasar satu sisi saja, karena setiap unsur kebudayaan selalu menyimpan beragam makna yang mendalam, apalagi bagi kehidupan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News