mahkota binokasih sanghyang pake jejak warisan nafas budaya sunda - News | Good News From Indonesia 2025

Mahkota Binokasih Sanghyang Pake: Jejak Warisan, Nafas Budaya Sunda

Mahkota Binokasih Sanghyang Pake: Jejak Warisan, Nafas Budaya Sunda
images info

Peringatan Hari Jadi Kabupaten Sumedang ke-447 tahun ini menjadi panggung budaya yang sarat makna. Salah satu rangkaian paling simbolik adalah Kirab Panji dan Mahkota Kemaharajaan Sunda, yakni Mahkota Binokasih Sanghyang Pake.

Perjalanan kirab yang dimulai dari Ciamis, melewati Bogor, dan berakhir di Sumedang tidak hanya memperlihatkan lintasan geografis, tetapi juga menggambarkan lintasan historis serta keterikatan batin masyarakat Sunda terhadap nilai-nilai leluhur.

Mahkota Binokasih Sanghyang Pake adalah pusaka yang sarat makna. Benda ini bukan sekadar artefak, melainkan representasi kesinambungan nilai-nilai Sunda.

Dikenal sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran, mahkota tersebut diwariskan kepada Kerajaan Sumedang Larang pada akhir abad ke-16 sebagai bentuk estafet legitimasi dan tanggung jawab budaya (Iskandar, 2015).

Peran penting kemudian diemban oleh Karaton Sumedang Larang, yang menjadi penjaga resmi warisan budaya tersebut. Hingga hari ini, Mahkota Binokasih tersimpan dan dirawat di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

Museum ini bukan hanya tempat penyimpanan, tapi juga ruang edukasi dan penguatan identitas kultural. Karaton Sumedang Larang dan Yayasan Nadzir Wakaf Pangeran Sumedang yang menaunginya terus berkontribusi aktif dalam pelestarian adat, seni, serta sejarah lokal.

Mengacu pada pandangan Stuart Hall (1996), identitas budaya senantiasa dibentuk melalui praktik sosial dan simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, Mahkota Binokasih berfungsi sebagai simbol kolektif masyarakat Sunda dalam mengonstruksi kembali jati diri mereka di tengah zaman yang berubah cepat. Kirab tersebut memperkuat makna mahkota sebagai pemersatu kultural.

Indonesia-Denmark Jajaki Kolaborasi untuk Teknologi Perikanan, Demi Laut yang Berkelanjutan

Selain sebagai pengingat sejarah, mahkota juga merepresentasikan nilai etika kepemimpinan, spiritualitas, dan harmoni antara manusia dan lingkungannya. Geertz (1973) menyebut simbol budaya sebagai penentu pola perilaku sosial.

Dalam kirab ini, mahkota hadir sebagai elemen simbolik yang mempertemukan kembali masyarakat dengan akar tradisinya.

Kegiatan kirab lintas wilayah juga menciptakan pemaknaan baru terhadap sejarah Sunda yang tersebar. Wilayah seperti Ciamis dan Bogor yang terlibat dalam prosesi ini seakan merekatkan kembali fragmen-fragmen sejarah kerajaan Sunda.

Hobsbawm (1983) menyebut bahwa ritual seperti ini dapat menjadi sarana untuk membangun kembali kesinambungan tradisi di era modern.

Generasi muda, dalam hal ini, menjadi penerima estafet nilai. Saat dunia cenderung didominasi narasi global dan digital, kegiatan seperti kirab ini menjadi cara efektif untuk menghadirkan kembali narasi lokal ke ruang publik.

Kirab Budaya Memetri Bumi Eyang Cokrojoyo Sunan Geseng di Desa Musuk

Menurut Appadurai (1996), budaya lokal perlu dilestarikan bukan untuk menolak modernitas, tetapi untuk menegosiasikan identitas dalam dunia yang saling terhubung.

Dengan demikian, Mahkota Binokasih bukan sekadar simbol masa lalu. Ia adalah bagian dari proses hidup masyarakat Sunda hari ini dan esok. Menjaganya berarti merawat ruh budaya yang tak lekang oleh waktu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.