“Perang Kota”, film terbaru karya sutradara Mouly Surya, akhirnya memamerkan karyanya dalam press screening di XXI Epicentrum, pada Senin (21/4/2025).
Bukan sekadar adaptasi dari novel klasik “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis, film ini adalah sebuah tour de force—sebuah eksplorasi mendalam tentang cinta, pengkhianatan, dan perjuangan di tengah gejolak revolusi Indonesia tahun 1946.
Lebih dari Sekadar Film Perang
Mouly Surya, yang telah berkelut dengan proyek ini sejak 2018, menyebut “Perang Kota” sebagai karya paling ambisius dalam kariernya.
“Ini bukan hanya soal skala produksi, tapi tentang bagaimana kami menantang diri sendiri—dari narasi, ketegangan, hingga kedalaman karakter," ujarnya.
Dengan latar Jakarta di masa awal kemerdekaan, film ini tidak sekadar bercerita tentang pertempuran fisik melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga pertempuran batin para karakternya.
Isa (Chicco Jerikho), seorang guru sekaligus mantan pejuang yang trauma, harus menghadapi misi berbahaya sambil memikirkan keluarganya yang berubah sejak kehadiran Hazil (Jerome Kurnia), sahabatnya sendiri yang diam-diam mencintai Fatimah (Ariel Tatum).
Keberanian Artistik yang Tak Biasa
Mouly tidak main-main dalam pendekatan visualnya. Ia memilih format layar 4:3—sebuah keputusan yang jarang dipakai di era modern.
“Rasio ini memberi kesan intim, seolah penonton benar-benar masuk ke dalam dunia karakter," jelasnya.
Gambar yang dihadirkan pun sarat warna-warni kontras, dipadu dengan gerakan kamera dinamis yang membuat setiap adegan terasa hidup.
Lokasi syuting juga dirancang dengan detail. Jakarta 1946 dihidupkan melalui gang-gang sempit yang menjadi metafora perlawanan gerilya—“Perang tak hanya terjadi di jalan besar, tapi juga di lorong-lorong tersembunyi," tambah Mouly.
Baca juga Menyuarakan Isu Pendidikan lewat Film Pengepungan di Bukit Duri
Akting intens penuh emosi
Chicco Jerikho, yang memerankan Isa, mengaku proses menghidupkan karakter ini sangat menantang.
"Isa adalah sosok yang kompleks—dia hidup sebelum Indonesia merdeka, mengalami trauma perang, dan berjuang untuk negara sekaligus keluarganya. Setiap adegan harus menampilkan lapisan emosi yang berbeda," paparnya.
Sementara itu, Ariel Tatum sebagai Fatimah membawa nuansa melankolis seorang istri yang pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan, serta Jerome Kurnia sebagai Hazil memancarkan energi muda yang penuh ambiguitas.
"Masing-masing karakter punya charm-nya sendiri, dan itulah yang membuat konflik di film ini begitu memukau," ungkap Mouly.
Merambah layar mancanegara
“Perang Kota” bukan hanya produk lokal—ia adalah hasil kolaborasi internasional dengan tim dari Singapura, Belanda, Prancis, hingga Amerika Serikat.
Proses post-production melibatkan studio kelas dunia, termasuk pengolahan suara di Prancis dan efek visual di AS.
Film ini telah memulai perjalanannya di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025 dan bahkan sudah tayang lebih dulu di Benelux (Belanda, Belgia, Luksemburg) pada 17 April lalu.
“Kami berharap film ini bisa menjangkau penonton global. Ini bukan sekadar kisah Indonesia, tapi tentang manusia dan pergulatan universal mereka," kata produser Starvision.
Refleksi yang Menyentuh
Produser Starvision Chand Parwez Servia, menekankan bahwa “Perang Kota” bukan dokumenter atau biografi—ia adalah fiksi yang membawa penonton menyelami zaman dengan cara yang personal.
"Film ini bicara tentang peperangan batin, sesuatu yang sangat dekat dengan kita semua. Kami ingin penonton merenung dan merefleksikannya dalam hidup mereka sendiri," ujarnya.
Dengan segala kompleksitasnya, “Perang Kota” bukan sekadar tontonan—ia adalah pengalaman sinematik yang unik. Film ini tayang di bioskop Indonesia mulai 30 April 2025.
Baca juga Pengepungan di Bukit Duri, Film yang Meleburkan Berbagai Isu Sosial dalam Satu Layar
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News