Kebijakan baru Kementerian Pendidikan terkait kembalinya sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA)—yakni jurusan IPA, IPS, dan Bahasa—menjadi topik hangat yang mengundang beragam pendapat. Namun, jika ditelaah lebih dalam, keputusan ini bukan sekadar nostalgia pendidikan masa lalu. Justru, ini merupakan langkah strategis untuk membangun fondasi yang lebih kuat menuju jenjang pendidikan tinggi dan karier masa depan siswa.
Penjurusan kembali diberlakukan untuk menunjang pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA), yang dirancang sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). TKA akan berbasis mata pelajaran dan menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai kesiapan siswa memasuki perguruan tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti, “TKA itu nanti berbasis mata pelajaran. Sehingga itu akan membantu para pihak, terutama untuk murid yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.” Ini bukan hanya soal ujian semata, tapi tentang bagaimana mengukur kemampuan akademik secara adil, terstruktur, dan relevan.
Dengan penjurusan, pembelajaran bisa lebih fokus, mendalam, dan sesuai dengan minat serta kemampuan siswa. Mereka tidak perlu lagi "tersesat" dalam beragam mata pelajaran dari berbagai rumpun ilmu yang belum tentu mereka minati atau butuhkan. Penjurusan membantu mereka mengenal lebih dalam bidang yang ingin ditekuni, sekaligus mempersiapkan diri secara matang untuk pendidikan tinggi yang semakin kompetitif—baik di dalam maupun luar negeri.
Dukungan atas kebijakan ini pun datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Budy Sugandi, Direktur Eksekutif Yayasan Cendekia Muda Madani sekaligus pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Menurutnya, penjurusan adalah solusi realistis atas berbagai persoalan yang selama ini dihadapi sekolah:
Minimnya asesmen bakat dan minat membuat siswa kebingungan menentukan mata pelajaran yang relevan dengan potensi mereka.
Keterbatasan jumlah guru dan sarana prasarana menyulitkan sekolah menyediakan semua kombinasi mapel yang ideal bagi siswa.
Kedalaman pemahaman siswa terhadap materi menjadi rendah, karena mereka mempelajari terlalu banyak mata pelajaran tanpa integrasi yang bermakna.
Ketimpangan antar sekolah semakin tajam, karena hanya sekolah unggulan yang mampu menjalankan sistem kurikulum fleksibel secara optimal.
Kesulitan dalam transisi ke perguruan tinggi, karena pilihan mapel di SMA tidak nyambung dengan jurusan yang dituju di universitas.
Dengan sistem penjurusan, sekolah akan lebih mudah memetakan sumber daya—baik guru, fasilitas, maupun alokasi waktu—untuk mengoptimalkan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Hal ini menjadikan proses belajar tidak hanya efisien, tapi juga lebih bermakna.
Sebagai contoh, Bahasa Indonesia dan Matematika akan tetap menjadi mapel wajib dalam TKA. Namun, siswa yang masuk jurusan IPA dapat memperdalam ilmu melalui pilihan mapel seperti Fisika, Kimia, atau Biologi. Sementara siswa jurusan IPS dapat memilih Ekonomi, Sejarah, atau ilmu sosial lainnya yang relevan dengan minat dan rencana studi lanjut mereka.
Dengan demikian, penjurusan bukanlah sekadar pembagian kelas atau administratif belaka. Ia adalah instrumen penting dalam pendidikan yang mampu menyambungkan antara potensi siswa, kesiapan akademik, dan kebutuhan dunia kerja atau studi lanjutan. Kita perlu melihat kebijakan ini bukan dengan kacamata nostalgia, tetapi sebagai jembatan menuju pendidikan yang lebih terarah dan berdaya guna.
--
Budy Sugandi adalah Direktur Eksekutif Yayasan Cendekia Muda Madani, alumni program doktor bidang Education Leadership and Management dari Southwest University China, serta aktif di Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News