Saat ini Indonesia tengah berhadapan dengan situasi paradoks yang mengejutkan. Pada tahun 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa sebesar 39,37 persen sampah didominasi oleh kategori sampah sisa makanan. Angka ini dua kali lipat lebih banyak dari persentase sampah plastik yakni sebesar 19,56 persen.
Program Pasar Bebas Plastik, #RayakanTanpaKantongPlastik pada momen Iduladha, #PlasticFreeJuly dan sejumlah kampanye bebas plastik lainnya memang harus terus disuarakan. Di samping itu, masalah mengenai limbah makanan justru lebih mendesak dan harus segera mendapat perhatian. Krisis food loss dan food waste terjadi sepanjang rantai pasok mencakup seluruh proses produksi hingga makanan telah selesai dihidangkan di meja. Untuk itu, upaya menekan limbah sisa makanan harus dilakukan dari hulu ke hilir.
Meskipun sampah sisa makanan cenderung lebih mudah terurai, sejumlah dampak negatif akan mengancam keseimbangan lingkungan jika sampah terus-menerus tertimbun. Penimbunan sampah organik dapat mencemari air tanah. Gas metana yang dihasilkan juga berdampak pada perubahan iklim. Sementara fasilitas pengolahan sampah organik menjadi pupuk masih belum efektif diberlakukan luas di seluruh wilayah.
Dampak Sampah Sisa Makanan
Permasalahan limbah sisa makanan bukan hanya permasalahan lingkungan, tetapi lebih luas berdampak pada aspek ekonomi dan sosial. Survei tahunan yang dilakukan oleh lembaga riset Global Hunger Indeks (GHI) menyebutkan bahwa indeks kelaparan Indonesia berada di posisi 77 dari 127 negara. Walaupun berada di kategori moderate (menengah), Indonesia berada di peringkat 2 terbawah dari total 8 negara ASEAN yang memenuhi indikator penilaian GHI. Hanya Timor Leste yang berada di bawah Indonesia, yakni peringkat 104. Sedangkan Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Myanmar berada di atas posisi Indonesia.
Sungguh ironi, di samping produksi sampah sisa makanan yang begitu besar, ternyata sebagian dari masyarakat Indonesia masih kekurangan makanan. Dari empat indikator survei GHI, angka stunting dan kekurangan gizi pada anak usia di bawah lima tahun di Indonesia masih tergolong tinggi. Kedua aspek ini mengindikasi bahwa anak-anak tidak mendapat asupan yang cukup baik selama di dalam kandungan atau pada masa pertumbuhan.
Kedua fenomena di atas sangat jelas menunjukkan adanya ketimpangan pada aspek sosial yang terjadi di Indonesia. Distribusi makanan belum sepenuhnya terjangkau oleh masyarakat. Masyarakat pinggiran tidak mendapat kesempatan untuk menikmati makanan karena persediaan bahan makanan terbatas. Petani di kaki gunung kesulitan untuk mendapatkan ikan segar. Hasil pertanian mereka juga sulit untuk dipasarkan lebih luas. Sedangkan masyarakat urban di perkotaan cenderung berperilaku konsumtif. Akses terhadap bahan makanan lebih mudah melalui gerai-gerai dan supermarket yang banyak tersedia.
Dampak ekonomi akibat sampah sisa makanan diperkirakan setara dengan Rp 213 – 551 triliun rupiah. Angka tersebut diperkirakan berdasarkan data studi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) bersama Waste4Change dan World Resourrces Institute (WRI) Indonesia.
Mereka menyebutkan bahwa setiap tahun Indonesia menghasilkan 23 – 48 juta ton sampah makanan, yang setara dengan 115 – 184 kilogram per orang. Yang lebih mengejutkan, 44 persen di antaranya masih dalam kondisi layak konsumsi.
Apabila perencanaan makanan dilakukan dengan tepat, sampah makanan tersebut diperkirakan mampu memenuhi gizi 61 – 125 juta warga Indonesia. Apabila tidak segera mendapat penanganan yang tepat, sampah yang timbul pada tahun 2045 akan diproyeksikan naik 200 persen menjadi 244 kilogram per kapita per tahun.
Kegiatan konsumsi menjadi penyumbang sampah sisa makanan terbesar dibanding kegiatan lainnya. Di beberapa restoran, makanan memiliki standar estetika yang tinggi baik dari ukuran, bentuk, warna atau penampilan visual lainnya.
Hal ini menyebabkan makanan yang tidak memenuhi standar tidak dapat diperjualbelikan, meskipun masih dalam kondisi layak konsumsi. Pada kasus lain juga ditemukan bahwa konsumen sering kali belanja makanan berlebih. Alih-alih dibawa pulang, sisa makanannya ditinggalkan begitu saja pada meja restoran. Padahal, makanan tersebut masih bisa dimanfaatkan.
Upaya yang Harus dilakukan oleh Konsumen
Sebagai konsumen yang merupakan rantai pasok makanan terakhir diperlukan kepedulian yang tinggi terhadap sampah makanan. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah bijak dalam berbelanja. Sering kali kita terjebak oleh penawaran menarik yang tersedia di toko tanpa memikirkan jumlah kebutuhan yang diperlukan.
Tanamkan dalam diri bahwa tidak perlu membeli bahan makanan terlalu banyak, cukup membeli sesuai kebutuhan. Hal ini dapat memperkecil volume sampah makanan akibat masa simpan yang terbatas. Kedua, rencanakan menu dan perhitungkan porsi makanan. Melakukan perencanaan menu dan memperhitungkan porsi akan membantu Kawan GNFI menemukan bahan makanan sesuai kebutuhan.
Jika memasak dengan porsi besar, perhatikan lingkungan sekitar. Berbagi dengan yang membutuhkan akan lebih baik daripada Kawan menyimpan terlalu banyak makanan berhari-hari.
Peran aktif masyarakat diperlukan untuk menjalankan sejumlah kebijakan pengolahan sampah sisa makanan terutama yang berasal dari rumah tangga. Memilah sampah berdasarkan kategori adalah langkah awal yang cukup menentukan.
Paling tidak setiap rumah tangga wajib memilah sampah menjadi sampah organik, sampah anorganik, sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun), sampah elektronik serta sampah sisa. Dengan kategori sederhana seperti ini, pengolahan sampah dapat berjalan lebih efektif.
Melihat fakta lapangan, sering kali sampah sisa makanan dibuang dengan dibungkus plastik rapat-rapat. Tindakan ini malah memperburuk keadaan. Sisa makanan tidak dapat terurai bersama dengan plastik. Sisa makanan yang terperangkap dalam plastik dapat menimbulkan gas metana (CH4) yang berbahaya bagi lingkungan.
Gas ini yang mempercepat penipisan lapisan ozon. Padahal jika diperlakukan dengan benar, produksi gas metana dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi biogas yang dapat digunakan sebagai alternatif tabung elpiji. Jika langkah ini bisa berjalan efektif, sampah sisa makanan tidak akan lagi menjadi beban, melainkan peluang besar lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News