Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mensahkan perubahan Undang-Undang TNI (RUU TNI) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis (20/3) siang. Walau mendapatkan kritik keras dari masyarakat sipil.
Masyarakat sipil menyoroti perluasan instansi sipil yang bisa diduduki prajurit aktif. Mereka menilai RUU TNI berpotensi kembali menghidupkan dwifungsi angkatan bersenjata.
Kekhawatiran dwifungsi militer bangkit karena dalam RUU TNI ada pasal yang menambah jumlah kementerian/lembaga pemerintah bisa diisi TNI aktif. Sehingga dikhawatirkan TNI kembali aktif dalam kegiatan politik seperti di zaman Orde Baru.
Rumah Atsiri Indonesia, Warisan Bung Karno untuk Bangun Pabrik Minyak Wangi Terbesar di ASEAN
Keterlibatan TNI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di dunia politik sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Soekarno. Bahkan saat itu Bung Karno melarang TNI untuk masuk ke dunia politik.
“Angkatan Perang tidak boleh ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa. Tapi tidak boleh ikut politik,” jelas Bung Karno dalam pidato peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-8 pada 17 Agustus 1953.
Trauma Bung Karno
Bung Karno mengetahui betul apa dampak dari keterlibatan TNI dalam dunia politik. Hal ini karena, dia hampir menjadi korban dari peristiwa 17 Oktober 1952.
Saat itu, para perwira militer bersama 30.000 demonstran melakukan unjuk rasa menuju Istana Merdeka. Tank, meriam, dan persenjataan artileri bahkan dihadapkan menuju ke Istana Merdeka.
Tak Malu Walau Jadi Orang Nomor 1 di Indonesia, Bung Karno Sering Utang ke Supir Taksi Langganan
Para perwira mengaku kesal karena politikus berusaha mempolitisasi tentara. Para perwira itu datang membawa massa sipil yang berdemonstrasi. Para demonstran berteriak:
“Bubarkan Parlemen! Bubarkan Parlemen!"
Bung Karno menilai tindakan perwira ini sebagai makar karena menggunakan
peralatan militer. Akhirnya, Presiden menemui demonstran.
Menurut Soekarno, parlemen tak begitu saja bisa dibubarkan karena dirinya bukanlah diktator yang bebas melakukan apa saja. Presiden membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak menanggapi usulan itu.
“Pokoknya, saya tidak mau jadi diktator. Jangan paksa saya membubarkan parlemen. Saya tidak akan pernah mau,” tegas Sukarno.
Soekarno menegaskan akan menyelidiki lebih besar keinginan rakyat dan segera mempercepat pemilu. Demonstran sekejap luluh mendengar penyataan dari Soekarno dan segera membubarkan diri.
Setelahnya massa bubar dan berteriak: "Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!"
Nasution dicopot
Setelah peristiwa itu, Soekarno menemui delegasi militer yang datang. Imbasnya, AH Nasutiaon yang ketika itu menjadi KSAD akhirnya diganti.
Nasution kemudian sibuk menulis buku di masa menganggurnya. Selain itu, bersama beberapa kolonel yang sepaham, dia mendirikan sebuah partai yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Monumen Patok Kayu di Jatibarang, Saksi Bisu Tempat Orasi Bung Karno Semangati Tentara PETA
Tetapi partai ini tidak sanggup bersaing dengan partainya Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), dalam Pemilu 1955. Bahkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Walau begitu pada 1955, Nasution yang lihai dalam berpolitik kembali menjabat sebagai KSAD. Bahkan setelah sukses melobi Sukarno agar mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Nasution mendirikan Pemuda Pancasila (PP).
Sumber:
- Dalam Sejarah, TNI AD Tak Pernah Benar-Benar Netral Politik
- Pesan Sukarno: Angkatan Perang Dilarang Berpolitik Praktis
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News