Dikenal dengan kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat pada zaman dulu, kota Cirebon yang sebagian besar mayoritas beragama Islam kerap kali dijuluki sebagai “Kota Wali” sehingga membentuk identitas serta akibat dari pengaruh penyebaran Islam di kota ini.
Sejarah panjang masuknya Islam dimulai pada masa Walingoso, Sunan Gunung Jati setidaknya meninggalkan banyak warisan bukti sejarah seperti mesjid, keraton kesepuhan, pesantren, makam, naskah-naskah yang terbagi dalam kategori berisi doa, cerita Islam, ajaran agama, dongeng, adat istiadat, primbon yang ditulis dalam bermacam-macam bahasa yaitu, Jawa, Arab, dan Pegon.
Sebagai daerah yang menyimpan kesenian dan tradisi yang unik dan menarik di dalamnya membentuk budaya yang kaya dan beragam. Salah satunya adalah kesenian Brai yang merupakan akulturasi budaya Arab dengan Cirebon saat Islam menyebarluas dan masuk kedalam kesenian tertua di wilayah Cirebon.
Kesenian Brai warisan budaya menjadi media untuk berdakwah yang berisikan selawat atau tembang yang bernafaskan sufistik dengan lirik memuji keagungan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam bait liriknya menggunakan bahasa Arab tetapi, dilafalkan menggunakan bahasa Cirebon hal ini dapat terjadi karena dilatarbelakangi oleh lingkungan pada kala itu didominasi oleh kepercayaan Hindu-Buddha dibawah kerajaan Galuh. Supaya tidak terjadi perpecahan di masyarakat para pemuda melakukannya dengan media seni komunikasi.
Sejarah menyebut kesenian Brai sudah ada sekitar abad ke-14 Masehi dibawah pimpinan Syekh Datul Kafi, kegiatan ini dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara bersama-sama menembangkan syair-syair keagamaan yang merupakan nilai pada tasawuf.
Pada konsep kesenian Brai memiliki kesamaan dengan tarian Sema dari negara Turki sebuah tarian yang muncul pada abad ke-13 Masehi yang diciptakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi seorang penyair sufi.
Sekitar tahun 1970-an kesenian Brai sering sekali dimainkan di pesantren-pesantren sebagai seni hiburan oleh para santri sehingga kesenian ini dapat menyebar ke desa-desa wilayah Cirebon. Kesenian tersebut biasanya diiringi dengan kendang, rebana, tarian-tarian yang seirama, dan memiliki makna tertentu serta pada pelaksanaannya dilakukan pada bulan purnama, ketika menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW, malam Lailatul Qadar, kelahiran bayi, serta selamatan rumah.
Adapun pakaian dalam pementasan kesenian Brai untuk laki-laki memakai ikat kepala, kain sarung, dan celana. Sedangkan untuk perempuan memakai busana baju kurung, selendang, serta kain batik.
Brai berasal dari kata “baroya” atau “birahi” yang berarti puncak kenikmatan hubungan manusia dengan sang khalik yang dapat diraih dengan berbagai tahapan. Adapun versi lain di beri nama Brai berasal dari cinta yang mendalam akan Allah dengan menjaga, melestarikan, mengembangkan kesenian Brai secara turun-temurun dari generasi ke generasi supaya tidak punah.
Namun sangat disayangkan dengan masuknya budaya luar terutama barat menurunnya minat masyarakat khususnya kalangan generasi muda terhadap sesuatu yang sifatnya etnik hal tersebut disebabkan oleh pemahaman cara pandang. Mudah sekali rasanya seseorang untuk mengakses berbagai informasi dengan teknologi yang serba canggih seperti di era sekarang ini, sehingga masyarakat meninggalkan tradisi yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya.
Disebutkan oleh para pelaku kesenian Brai lebih banyak dinikmati oleh mereka kalangan yang sudah berusia 40 tahun ke atas sehingga tidak menutup kemungkinan kesenian tersebut bisa dimakan zaman dalam waktu beberapa tahun kedepan.
Maka dari itu kesenian Brai mulai banyak di pentaskan, dikenalkan kepada generasi muda sebagai bentuk pelestarian dan sudah seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News