mengenal desa adat dalung bali dari sejarah sistem masyarakat hingga berbagai upacara adat - News | Good News From Indonesia 2025

Mengenal Desa Adat Dalung Bali: Sejarah, Sistem Masyarakat, hingga Berbagai Upacara Adat

Mengenal Desa Adat Dalung Bali: Sejarah, Sistem Masyarakat, hingga Berbagai Upacara Adat
images info

Dalung merupakan sebuah desa di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Dalung telah menjadi desa adat baru yang terletak strategis di dekat Canggu dan bisa menjadi destinasi wisata yang asri untuk dikunjungi.

Awalnya wilayah Desa Dalung hanya berupa semak-semak, tegalan, dan tanah persawahan yang subur. Namun lambat laun tempat ini bisa menjadi wisata yang bisa Kawan GNFI kunjungi. Mari kita mengenal Desa Adat Dalung Bali!

Tips Liburan dan Berkeliling di Kuta Bali! dari Estimasi Biaya hingga Berbagai Spot Wisata

Mengenal Desa Adat Dalung Bali

Desa Adat Dalung adalah sebuah komunitas hukum adat yang tumbuh dan berkembang dengan hak asal-usul, hak tradisional, serta hak otonomi khusus untuk mengatur urusan internalnya. 

Keberadaan Desa Adat Dalung diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18b ayat (2), dan secara resmi diperkuat melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.

Desa Adat Dalung masuk dalam kategori Desa Adat Anyar. Beberapa tanda yang mendasari status ini antara lain adalah keberagaman klan (triwangsa) yang ada di Desa Adat Dalung, keberadaan Pura Khayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem) sebagai pura utama, serta ketidakhadiran tanah ayahan Desa Adat. 

Desa ini memiliki perbatasan wilayah berupa:

  • Sisi Timur: Desa Adat Kwanji, Desa Adat Padang Luwih
  • Sisi Selatan: Desa Adat Padonan/Desa Adat Kerobokan
  • Sisi Barat: Desa Adat Tuka, Desa Adat Buduk
  • Sisi Utara: Desa Adat Abianbase
Menjelajahi Keindahan Dua Desa Wisata di Bali yang Mendunia

Sejarah Desa Adat Dalung Bali

Asal-usul nama "Dalung" berhubungan erat dengan cerita yang berkembang di masyarakat dan dukungan dari berbagai bukti sejarah. Berdasarkan penuturan para tokoh adat dan agama, nama Dalung berasal dari dua kata, yaitu "Eda" yang berarti tidak boleh, dan "Lung" yang berarti patah. 

Gabungan dari kedua kata ini, "Edalung," lama kelamaan disingkat menjadi "Dalung," yang memiliki makna tidak akan patah. Makna ini mengandung semangat yang kuat, menggambarkan keteguhan dan keberlanjutan yang tidak akan mudah goyah.

Sejarah berdirinya Desa Dalung juga terkait dengan masa kejayaan Desa Padangluwah, yang merupakan kerajaan Meliling yang dipimpin oleh I Gusti Gede Meliling. Pada masa pemerintahannya, Padangluwah dikenal sebagai wilayah yang stabil baik secara ekonomi maupun sosial-politik. 

Namun, keadaan berubah drastis setelah kematian I Gusti Gede Meliling. Ketegangan internal di antara keluarga kerajaan, serta adanya provokasi dari kerajaan lain yang tertarik dengan wilayah subur dan strategis ini, memicu konflik. 

Ketika I Gusti Gede Tibung, cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Raja di Padangluwah, perang saudara pun tak terhindarkan. Setelah pertempuran sengit, I Gusti Gede Tibung gugur, dan empat putranya memilih untuk menetap di Dauh Tukad Yeh Poh, sebuah lokasi yang kemudian dikenal sebagai Banjar Kaja di Dalung. 

Di sinilah, dalam suasana penuh kesedihan dan semangat yang tak patah, muncul istilah "Dalung" sebagai simbol keteguhan dan harapan baru bagi mereka yang berjuang untuk mempertahankan warisan leluhur dan rakyat mereka. Istilah Dalung kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung di antara tahun 1823 - 1825.

Kenali Arti Mendalam Astungkara, Ungkapan Penuh Makna yang Perkaya Khazanah Nusantara

Sistem Masyarakat Desa Adat Dalung

Desa Adat Dalung termasuk dalam kategori desa adat anyar, yang berarti tradisi yang ada di desa ini masih berkembang dan belum memiliki banyak kebiasaan yang dianggap unik. Meskipun demikian, ada beberapa elemen keagamaan yang dijaga, seperti panembahan barung landung yang dihormati dengan sebutan Ratu Gede dan Ratu Ayu Sakti.

Kemudian ada aturan adat yang disebut dengan awig-awig. Awig-awig sendiri merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan masyarakat Desa Adat, yang disusun oleh Krama Desa Adat atau Krama Banjar Adat. 

Awig-awig berfungsi sebagai pedoman yang mengatur kehidupan masyarakat, dengan fokus pada pelaksanaan Tri Hita Karana, yaitu menjaga keharmonisan antara manusia dengan Tuhan (Prahyangan), antar sesama manusia (Pawongan), serta antara manusia dan lingkungan (Palemahan). 

Sebagai aturan hukum adat, awig-awig bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kedamaian, dan rasa keadilan di dalam masyarakat, sehingga sangat dihormati dan ditaati oleh generasi ke generasi di Bali.

Desa Adat Balung memliki 10 banjar adat. Banjar adat sendiri adalah himpunan masyarakat yang menjadi pembagi wilayah administratif di bawah kelurahan atau desa. Banjar adat sendiri sering berfungsi untuk mengatur dan mengorganisir pelaksanaan upacara keagamaan di tingkat desa. 

Adapun 10 banjar tersebut adalah:

  1. Banjar Untal-Untal
  2. Banjar Tegeh
  3. Banjar Kaja
  4. Banjar Lebak
  5. Banjar Cepaka
  6. Banjar Kung
  7. Banjar Padang Bali
  8. Banjar Dukuh
  9. Banjar Pengilian
  10. Banjar Pegending
Tradisi Mesalaran Tipat Bantal @ Pemerintah Desa Balung
info gambar

Beberapa Upacara Adat di Desa Adat Dalung Bali

Upacara Adat Piodalan Rahina Tumpek Wayang 

Piodalan Rahina Tumpek Wayang adalah hari suci yang dirayakan setiap enam bulan sekali dalam kalender Bali. Hari ini dipercaya sebagai saat di mana energi halus sangat fluktuatif, sehingga umat Hindu memanfaatkannya untuk berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa, memohon kekuatan dan perlindungan. 

Tumpek Wayang menjadi momen untuk merayakan seni dan budaya Bali. Melalui Piodalan Tumpek Wayang, masyarakat tidak hanya melestarikan tradisi leluhur, tetapi juga memperlihatkan semangat gotong royong yang tinggi.

Upacara Adat Piodalan Ring Pura Ratu Made Agung

Piodalan Pura Ratu Made Agung merupakan bentuk bhakti kepada Ida Bhatara sebagai ungkapan rasa terima kasih atas segala karunia yang diberikan. Upacara ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Buda Urip Wuku Watugunung. 

Melalui piodalan ini, umat Hindu memohon perlindungan dan berkah dari Ida Bhatara Bhatari untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik. Selain sebagai ajang berdoa, piodalan ini juga menjadi momen penting untuk mempererat hubungan antar umat beragama.

Kegiatan ini menunjukkan wujud bhakti masyarakat yang berusaha meningkatkan sradha dan bhakti mereka kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, memperkuat kebersamaan dan keharmonisan di masyarakat.

Tradisi Mesalaran Tipat Bantal 

Tradisi Mesalaran atau Metimpugan Tipat Bantal adalah simbol keseimbangan dan harmoni antara umat manusia dengan alam, serta sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta atas rezeki yang diberikan melalui hasil panen yang melimpah. 

Dalam upacara ini, warga membawa "tipat" (ketupat) dan "bantal" (kue dari beras ketan), yang disusun sebagai persembahan di Pura Desa Adat. Tipat dan bantal melambangkan dualisme alam, yaitu keseimbangan antara laki-laki dan perempuan, atau Purusa dan Pradana, yang harus dijaga oleh setiap warga desa.

Tradisi Mesalaran dimulai dengan persembahyangan bersama di Pura. Setelah itu, krama desa dan yowana duduk dalam lingkaran untuk melakukan makan bersama (megibung). 

Banyak hikmah kebudayaan yang bisa digali dari Desa Adat Dalung. Kawan jangan lupa mampir ke desa ini ketika berada di Bali, ya!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ashnov Brillianto Ahmada lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ashnov Brillianto Ahmada.

AB
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.