Masyarakat Hindu di Bali memiliki keragaman dan kedalaman budaya yang terus terjaga antar generasi. Berbagai macam giat budaya mulai dari penggunaan nama, bahasa, aturan norma, hingga upacara adat menjadi ciri khas yang tak bisa lepas dari rakyat Bali.
Penggunaan bahasa Bali yang ikut memperkaya khazanah kultural Nusantara, seringkali kita dengar di masyarakat, pemerintah, ataupun media sosial. Kata-kata seperti om swastyastu, rahajeng, matur suksma juga astungkara mungkin lebih dekat kita temui.
Namun, apakah Kawan sudah mengenal lebih dalam tentang makna dan penggunaan dari kata astungkara? Mari kita kenali bersama-sama!
Pembangunan Teramat Pesat, Bagaimana Bali Bertahan di Tengah Ledakan Wisatawan?
Mengenal Apa itu Astungkara
Banyak dari Kawan sekalian yang mungkin pernah mendengar istilah astungkara, terutama ketika kita berada di Bali. Sebagaimana lazimnya suatu bahasa, astungkara memiliki berbagai makna dan terdiri dari rangkaian suku kata yang berbeda.
Dilansir dari kamus basabali.org, astungkara diartikan ke bahasa Indonesia sebagai puja, sembah, semoga, demikianlah hendaknya, dan insyaallah. Kemudian dari bahasa Inggris sebagai pray, worship, dan hopefully.
Lebih lanjut lagi dalam buku karya Ni Luh Komang Candrawati yang berjudul Medan Makna Rasa dalam Bahasa Bali (2002), kata astungkara terdiri dari atas gabungan dua kata, astu dan kara.
Menurut bahasa Sanskerta, astu memiliki arti 'semoga terjadi'. Kata ini menggambarkan harapan penuh dan kepercayaan kepada Tuhan yang akan mewujudkan keinginan menjadi kenyataan sesuai kehendak-Nya.
Kara di satu sisi berarti 'pencipta' atau 'penyebab' sehingga berhubungan dengan Tuhan sebagai sebab dan sumber dari segala suatu hal yang terjadi. Perpaduan antara astu dan kara ditambah dengan sisipan “ng” yang merupakan tambahan dialek Bali mewujud dalam kata astungkara.
Astungkara menjadi sebuah ungkapan harapan yang kepada kehendak Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa supaya apa yang diinginkan bisa terjadi. Secara literal astungkara bisa juga berarti 'semoga terjadi atas kehendak Ida Sang Hyang Widhi.'
Penggunaan Kata Astungkara
Dalam memaknai penggunaan kata astungkara, mari kita pahami dulu penggunaan kata astu dan kara. Kata astu sendiri seringkali digunakan dalam bahasa Sanskerta dan masyarakat Hindu. Contoh penggunaan katanya seperti pada awignamastu (semoga kebaikan terjadi) dan swastyastu (semoga kesejahteraan terjadi).
Kata kara bisa diartikan melakukan, menyebabkan, atau memproduksi. Kata ini juga bisa mengarah pada pada salam seperti namaskara, yang merupakan sikap mencakupkan kedua telapak tangan. Ada contoh lain seperti karasodhana yaitu membersihkan tangan. Kara sering berkaitan dengan kekuatan atau tindakan yang memicu sesuatu.
Perpaduan dua kata tersebut menghasilkan makna astungkara 'semoga terjadi atas kehendak Tuhan. Astungkara juga memberikan beberapa makna kasual seperti, 'semoga demikian', 'mengiyakan', 'terjadilah begitu', 'biarlah menjadi demikian', atau 'atas seizin/kehendak Sang Pencipta.'
Astungkara termasuk ke dalam bahasa Bali tingkatan mider. Mider merupakan tingkatan bicara bahasa Bali yang halus dan netral. Tingkat mider dapat digunakan dalam berbagai situasi dan kondisi juga untuk semua kalangan.
Oleh karena itu, penggunaan astungkara dalam lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali sebagai ekspresi untuk mengungkapkan sesuai maknanya.
Penggunaannya tidak terbatas hanya pada acara adat khusus, situasi tertentu, atau pun tingkatan bahasa yang ada.
Memahami Makna Galungan dan Kuningan yang Diperingati Umat Hindu
Makna Filosofis Mendalam dari Astungkara
Pembahasan mengenai astungkara dapat mencapai titik yang lebih dalam lagi. Zoemulder dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia (1995) mengungkap kajian teoritis tentang ucapan-ucapan yang tertuang dalam kitab Weda.
Astungkara berasal dari bahasa Sanskerta yang termuat dalam Atharwa Weda yang berarti “perkataan astu”, di mana astu berarti 'semoga terjadi'.
Umumnya, perkataan dalam Atharwa Weda adalah kata-kata yang keramat dan menjadi inspirasi para resi ketika menerima ilham. Astungkara menjadi sabda suci yang berkaitan dengan Tri Pramana, tiga kekuatan manusia yang terdiri dari bayu, sabda, dan idep.
Konsep pengucapan astungkara menjelma sebagai sarana untuk menghadirkan kekuasaan Tuhan yang agung dan tak terbatas dalam setiap nafas gerak di alam semesta ini. Salah satu bentuk upaya untuk berkomunikasi secara spiritual kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Lembaga resmi agama Hindu di Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), juga menambahkan pandangan tentang pentingnya astungkara sebagai senjata spiritual bagi umat Hindu. Harapan, keinginan, serta permohonan kepada Tuhan mewujud melalui pengucapan astungkara.
Secara garis besar, penggunaan astungkara memberikan gambaran akan kesadaran dan penghormatan umat Hindu atas peran Tuhan sebagai pencipta dan penyebab dari segala sesuatu.
Kerendahan hati masyarakat Hindu dalam mengakui semua adalah kehendak-Nya menjadi ekspresi permohonan dan harapan yang tulus dalam laku kehidupan sehari-hari.
Arsitektur Masjid Menara Kudus, Keindahan yang Dibalut Toleransi Islam dan Hindu
Astungkara dalam Perspektif Multikultural Bangsa
Dalam perspektif kebangsaan, astungkara mirip dengan perkataan insyaallah yang digunakan umat muslim. Kedua kata tersebut mengandung keyakinan dan harapan kepada Tuhan terkait kehendak-Nya dalam masa depan kehidupan manusia.
Konsep ini sama-sama menekankan kepercayaan yang mendalam atas takdir Tuhan. Bahkan, laman basabali.org mengartikan astungkara sama dengan ucapan insyaallah.
I Nyoman Tika dalam Majalah Hindu Raditya menyebutkan dalam konteks kenegaraan, pengucapan astungkara bagi umat Hindu bisa terkesan latah dan meniru-niru tradisi agama lain. Pernyataan ini menampik kenyataan bahwa tradisi Weda juga telah ada dan sejak dahulu telah dilakukan.
Penggunaan astungkara sebagai salah satu ucapan salam bagi umat Hindu menjadi tambahan identitas dalam membangun masyarakat yang lebih multikultural. Pembiasaan ucapan ini akan menambah khazanah perbendaharaan kata bangsa dan semakin menanamkan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Contoh Penggunaan Astungkara dalam Sehari-hari
Dilansir dari laman basabali.org, berikut adalah contoh penggunaan astungkara dalam bahasa Bali yang digunakan untuk sehari-hari:
- Astungkara acara puniki mamargi antar (Semoga acara ini berjalan lancar.)
- Astungkara kedepan ne, Bali lebih maju, jalanan ane usak apang ngidang luung (Semoga kedepannya Bali bisa lebih maju, dan jalan yang rusak agar bisa bagus.)
- Acepan titiang teken bali di masa depan inggih punika; astungkara Bali ngidang ajeg teken budaya lan bahasane (Harapan saya tentang Bali di masa depan adalah; semoga Bali bisa lestari akan budaya dan bahasanya.)
- Astungkara Subak mangde maju lan kelestariang (Semoga subak maju dan dilestarikan).
- Astungkara masyarakat Bali state wikan nyage persatuan tur nenten meda-medaang manusa (Semoga masyarakat Bali selalu berusaha menjaga persatuan serta tidak membeda-bedakan orang).
Astungkara sebagai salam khas umat Hindu akan memperkaya pemahaman masyarakat Indonesia yang multikultural. Hal ini dapat terwujud apabila setiap kita saling berusaha belajar memahami dan menjunjung tinggi pelestarian budaya.
Astungkara bukan hanya sekadar kumpulan kata tetapi juga semangat spiritual masyarakat Hindu dalam mengagungkan Sang Pencipta. Sebuah harapan untuk masa depan bangsa yang bermartabat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News