Batik Oey Soe Tjoen dari Kedungwuni, Pekalongan telah menjadi legenda. Eksis lebih dari 100 tahun, batik Oey Soe Tjoen telah dikenal sebagai batik paling halus di Jawa. Tidak heran, sebab proses pengerjaan batik ini sangat detil, bisa sampai 3 tahun lamanya.
Widianti Widjaya sebagai generasi ketiga, yang awalnya menolak meneruskan usaha batik ini, kini mengelolanya dengan penuh cinta.
Oey Soe Tjoen merupakan salah satu batik peranakan Tionghoa yang masih bertahan dan keberadaannya sangat dijaga. Di kalangan kolektor, batik Oey Soe Tjoen adalah juaranya. Mereka rela menebus dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk mendapatkan karya agung dari peranakan di Pekalongan ini.
Potret Kamaku, Merek Batik yang Libatkan Para Down Syndrome dalam Proses Produksi
Harga tersebut jelas sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Mayoritas pekerja di sana adalah pembatik senior yang telah menggeluti dunia batik selama berpuluh-puluh tahun. Dedikasi dan pengetahuannya tidak bisa diragukan.
Mereka bahkan bekerja sesuai dengan spesialisasi keahliannya. Pembatik yang ahli membuat titik, tidak bekerja membuat gambar bunga, daun, atau motif lainnya.
Sejarah Batik Tulis Oey Soe Tjoen yang Kini di Ambang Kepunahan
Widianti Widjaya, Generasi Ketiga Pemilik Batik Oey Soe Tjoen
Hidup dan mati batik Oey Soe Tjoen kini ada di tangan Widianti Widjaya. Sebagai keturunan Tionghoa, meneruskan usaha keluarga, apalagi usaha tersebut dinilai berhasil merupakan hal yang lumrah. Maka, inilah Widianti Widjaya yang sejak 20 tahun lalu mau tidak mau harus menyambung eksistensi batik Oey Soe Tjoen.
Sebenarnya, Widia telah merancang hidupnya sendiri. Pada usianya yang ke-26, rencana Widia adalah mengejar studi master jurusan Manajemen. Saat ia diharuskan menerusan usaha batik yang sudah punya nama itu, Widia terang-terangan menolak.
"Saya pernah bertanya, bagusnya tuh apa sampai orang mati-matian pingin punya batik OST (Oey Soe Tjoen)? Padahal kalau saya pribadi, nggak suka," terangnya, dikutip dari Kompas.
Meski demikian, pada akhirnya Widia tetap melanjutkan apa yang telah ditugaskan. Kini, dengan sepenuh hati dan tanggung jawab, Widia bertekad agar batik Oey Soe Tjoen tetap hidup. Ia berkomitmen tetap menghasilkan karya batik terbaik, meskipun harus mengalami kegagalan berkali-kali.
“Saya punya komitmen, jangan sampai kebesaran Oey Soe Tjoen itu hancur di tangan saya. Jadi, saya berusaha, sekeras apa pun, saya tidak menghancurkan apa yang dimulai oleh papa atau kakek," katanya.
Penuh Filosofi, Ini Perbedaan Batik Indonesia dan Malaysia
Idealisme dan Perfeksionisme dalam Batik Oey Soe Tjoen
Widianti Widjaya sangat menjaga kualitas batik keluarganya. Ia tak pernah hitung-hitungan untuk menghasilkan batik terbaik. Bahkan, pernah suatu ketika ia harus membuang secara cuma-cuma racikan warna yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Itu kan mengeluarkan biaya lagi. Tapi, saya nggak menghitungnya," tutur Widia.
Tidak hanya itu, dalam menghasilkan satu buah batik terbaik, Widia bahkan pernah menghabiskan masa produksi selama 10 tahun.
Fatonah, Maestro dari Sukapura yang Belajar Batik Secara Diam-Diam
Widia mengaku, salah satu kesulitannya dalam meneruskan usaha ini adalah minimnya pengetahuan terhadap resep pewarnaan yang diwariskan ayahnya.
Oleh karena itu, dalam hal ini, Widia mengandalkan para pembatik yang telah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun lamanya untuk mengajari bagaimana cara memproduksi batik dengan hati dan dedikasi yang tinggi.
"Saya bilang pada mereka (para pembatik), 'tolong bekerja, anggap papa itu ada'. Dari situ saya melihat bagaimana mereka bekerja. Jadi, saya menganggap bahwa saya itu karyawan, pembatik adalah senior. Saya yang belajar dengan mereka sebagai bawahan," tutur Widia.
Maestro Sulawesi Tengah, Ina Tobani yang Langgengkan Pakaian Adat dari Kulit Kayu Pohon Beringin
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News